KESEHATAN MASYARAKAT
A.
Sekelumit
Sejarah Kesehatan Masyarakat
Membicarakan
kesehatan masyarakat tidak terlepas dari dua tokoh metologi ‘Yunani, yakni
Asclepius dan Higeia. Berdasarkan cerita mitos Yunani tersebut Asclepius
disebutkan sebagai dokter pertama yang tampan dan pandai meskipun tidak
disebutkan sekolah atau pendidikan apa yang telah ditempuhnya, tetapi
diceritakan bahwa ia dapat mengobati penyakit dan bahkan melakukan bedah
berdasarkan prosedur-prosedur tertentu (surgical
procedure) dengan baik.
Higeia,
seorang asistennya, yang kemudian diceritakan sebagai istrinya, juga telah
melakukan upaya-upaya kesehatan. Beda antara Asclepius dengan Higeia dalam
pendekatan/penanganan masalah kesehatan sebagai berikut:
1)
Asclepius melakukan pendekatan (pengobatan penyakit) setelah
penyakit tersebut terjadi pada seseorang
2)
Higeia mengajarkan kepada pengikutnya dalam pendekatan masalah
kesehatan melalui ‘hidup seimbang’, yaitu menghindari makanan/minuman beracun,
makan makanan yang bergizi (baik), cukup istirahat, dan melakukan olahraga. Apabila
orang sudah jatuh sakit, Higeia lebih menganjurkan melakukan upaya-upaya secara
alamiah untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut, antara lain lebih baik dengan
memperkuat tubuhnya dengan makanan yang baik, daripada dengan pengobatan/pembedahan.
Dari cerita mitos Yunani. Asclepius dan Higeia tersebut akhirnya
muncul dua aliran atau pendekatan dalam menangani masalah-masalah kesehatan.
Kelompok atau aliran pertama
cenderung menunggu terjadinya penyakit (setelah sakit), yang selanjutnya
disebut pendekatan kuratif (pengobatan). Kelompok ini pada umumnya terdiri dari
dokter, dokter gigi, psikiater, dan praktisi-praktisi lain yang melakukan
pengobatan penyakit baik fisik, psikis, mental maupun social. Sedangkan
kelompok kedua, seperti halnya
pendekatan Higeia, cenderung melakukan upaya-upaya pencegahan penyakit dan
meningkatkan kesehatan (promosi) sebelum terjadinya penyakit. Kedalam kelompok
ini termasuk para petugas kesehatan masyarakat lulusan-lulusan sekolah atau
institusi kesehatan masyarakat dari berbagai jenjang.
Dalam perkembangan selanjutnya, seolah-olah timbul garis pemisah
antara kedua kelompok profesi, yakni pelayanan kesehatan kuratif (curative health care), dan pelayanan
pencegahan atau preventif (preventive
health care). Kedua kelompok ini dapat dilihat perbedaan pendekatan yang
dilakukan antara lain sebagai berikut. Pertama,
pendekatan kuratif pada umumnya dilakukan terhadap sasaran secara individual,
kontak terhadap sasaran (pasien) pada umumnya hanya sekali saja. Jarak antara
petugas kesehatan (dokter, drg, dan sebagainya) dengan pasien atau sasaran
cenderung jauh. Sedangkan pendekatan preventif, sasaran atau pasien adalah
masyarakat (bukan perorangan) masalah-masalah yang ditangani pada umumnya juga
masalah-masalah yang menjadi masalah masyarakat, bukan masalah individu.
Hubungan antara petugas kesehatan dengan masyarakat (sasaran) lebih bersifat
kemitraan, tidak seperti antara dokter-pasien.
Kedua, pendekatan
kuratif cenderung bersifat reaktif, artinya kelompok ini pada umumnya hanya
menunggu masalah datang. Seperti dokter yang menunggu pasien datang di
Puskesmas atau tempat praktik. Kalau tidak ada pasien datang, berarti tidak ada
masalah maka selesailah tugas mereka bahwa masalah kesehatan adalah adanya
penyakit. Sedangkan kelompok preventif lebih menggunakan pendekatan proaktif,
artinya tidak menunggu adanya masalah, tetapi mencari masalah. Petugas
kesehatan masyarakat tidka hanya menunggu pasien datang di kantor atau ditempat
praktik mereka, tetapi harus turun ke masyarakat mencari dan mengidentifikasi
masalah yang ada di masyarakat, dan melakukan tindakan.
Ketiga, pendekatan
kuratif cenderung melihat dan menangani klien atau pasien lebih kepada system
biologis manusia atau pasien hanya dilihat secara partial, padahal manusia
terdiri dari kesehatan bio-psikologis dan sosial, yang terlihat antara aspek
satu dengan yang lainnya. Sedangkan pendekatan preventif melihat klien sebagai
makhluk yang utuh, dengan pendekatan yang holistik. Terjadinya penyakit tidak
semata-mata karena terganggunya system biologi, individual, tetapi dalam
konteks yang luas, aspek biologis, psikologis dan sosial. Dengan demikian
pendekatannya pun tidak individual dan partial, tetapi harus secara menyeluruh
atau holistik.
B.
Perkembangan
Kesehatan Masyarakat
Sejarah
panjang perkembangan masyarakat, tidak hanya dimulai pada munculnya ilmu
pengetahuan saja, melainkan sudah dimulai sebelum berkembangnya ilmu
pengetahuan modern. Oleh sebab itu, akan sedikit diuraikan perkembangan
kesehatan masyarakat sebelum perkembangan ilmu pengetahuan (pre-scientific period) dan sesudah ilmu
pengetahuan itu berkembang (scientific
period).
a.
Periode Sebelum Ilmu Pengetahuan
Dari kebudayaan yang paling luas yakni Babylonia, Mesir, Yunani,
dan Roma telah tercatat bahwa manusia telah melakukan usaha untuk
penanggulangan masalah-masalah kesehatan masyarakat dan penyakit. Telah
ditemukan pula bahwa pada zaman tersebut terdapat dokumen-dokumen tertulis,
bahkan peraturan-peraturan tertulis yang mengatur tentang pembuangan air limbah
atau drainase pemukiman pembangunan
kota, pengaturan air minum, dan sebagainya.
Pada zaman ini juga diperoleh catatan bahwa telah dibangun tempat
pembuangan kotoran (latrin) umum,
meskipun alasan dibuatnya latrin tersebut bukan karena kesehatan. Dibangunnya
latrin umum pada saat itu, bukan karena tinja atau kotoran manusia dapat
menularkan penyakit, tetapi karena tinja menimbulkan bau tidak enak dan pandangan
yang tidak menyedapkan. Demikian juga masyarakat membuat sumur pada waktu itu
dengan alasan bahwa minum air kali yang mengalir yang sudah kotor itu terasa
tidak enak, bukan karena minum air kali dapat menyebabkan penyakit (Greene,
1984). Dari dokumen lain tercatat bahwa pada zaman Romawi kuno telah
dikeluarkan suatu peraturan yang mengharuskan masyarakat mencatatkan
pembangunan rumah, melaporkan adanya binatang-binatang yang berbahaya, dan
binatang-binatang piaraaan yang menimbulkan bau, dan sebagainya. Bahkan pada
waktu itu telah ada keharusan pemerintah kerajaan untuk melakukan supervise
atau peninjauan kepada tempat-tempat minuman (public bar), warung makan, tempat-tempat prostitusi dan sebagainya
(Hanlon, 1974).
Kemudian pada permulaan abad pertama sampai dengan kira-kira abad
ke-7 kesehatan masyarakat makin dirasakan kepentingannya karena berbagai macam
penyakit menular mulai menyerang sebagian besar penduduk dan telah menjadi
epidemi bahkan di beberapa tempat telah menjadi endemi. Penyakit kolera telah
tercatat sejak abad ke-7 menyebar dari Asia khususnya Timur Tengah dan Asia
Selatan ke Afrika. India disebutkan sejak abad ke-7 telah menjadi pusat endemi
kolera. Di samping itu, lepra juga telah menyebar mulai dari Mesir ke Asia
Kecil dan Eropa melalui para emigrant. Upaya-upaya untuk mengatasi epidemi dan
endemi penyakit-penyakit tersebut, orang telah mulai memperhatikan masalah
lingkungan, terutama hygiene dan sanitasi lingkungan. Pembuangan kotoran
manusia (latrin), perusahaan air
minum yang bersih, pembuangan sampah, ventilasi rumah telah tercatat menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat pada waktu itu.
Pada abad ke-14 mulai terjadi wabah pes yang paling dahsyat, di
China dan India. Pada tahun 1340 tercatat 13 juta orang meninggal karena wabah
pes, dan di India, Mesir dan Gaza dilaporkan 13 ribu orang meninggal setiap
hari karena pes. Menurut catatan jumlah meninggal karena wabah pes di seluruh
dunia waktu itu mencapai lebih dari 60 juta orang. Oleh sebab itu, waktu itu
disebut ‘The Black Death’. Keadaan
atau wabah penyakit menular ini berlangsung sampai menjelang abad ke-18. Di
samping wabah pes, wabah kolera, dan tipus masih berlangsung. Tercatat pada
tahun 1603 lebih dari 1 di antara 6 orang meninggal dan pada tahun 1665 sekitar
1 di antara 5 orang meninggal karena penyakit menular. Pada tahun 1759, 70 ribu
orang penduduk kepulauan Cyprus meninggal karena penyakit menular.
Penyakit-penyakit lain yang menjadi wabah pada waktu itu antara lain tipus,
disentri, dan sebagainya.
Dari catatan-catatan tersebut dapat dilihat bahwa masalah
kesehatan masyarakat khususnya penyebaran penyakit menular sudah begitu meluas
dan dahsyat. Namun, upaya pemecahan masalah kesehatan masyarakat secara
menyeluruh belum dilakukan pada zaman itu.
b.
Periode Ilmu Pengetahuan
Bangkitnya
ilmu pengetahuan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 mempunyai dampak
yang luas terhadap segala aspek kehidupan manusia, termasuk kesehatan. Kalau
pada abad-abad sebelumnya masalah kesehatan khususnya penyakit, hanya dilihat
sebagi fenomena biologis, dan pendekatan yang dilakukan hanya secara biologis
yang sempit, maka mulai abad ke-19 masalah kesehatan adalah masalah yang
kompleks. Oleh sebab itu, pendekatan masalah kesehatan harus dilakukan secara
komprehensif, multisektoral.
Di samping itu,
pada abad ilmu pengetahuan ini juga mulai ditemukan berbagai macam penyebab
penyakit dan vaksin sebagai pencegah penyakit, yaitu Louis Pasteur berhasil
menemukan vaksin untuk mencegah penyakit cacat, Joseph Lister menemukan asam
karbol (carbolic acid) untuk
sterilisasi ruang operasi, dan William Marton menemukan eter sebagai anestesi
pada waktu operasi.
Penyelidikan
dan upaya-upaya kesehatan masyarakat secara ilmiah mulai dilakukan pada tahun
1832 di Inggris. Pada waktu itu sebagian besar rakyat Inggris terserang epidemi
(wabah) kolera, terutama terjadi pada masyarakat yang tinggal di perkotaan yang
miskin. Parlemen Inggris membentuk komisi untuk penyelidikan dan penanganan
masalah wabah kolera ini. Edwin Chardwich seorang pakar social (social scientist) sebagai ketua komisi
ini melaporkan hasil penyelidikannya sebagai berikut: Masyarakat hidup di suatu
kondisi sanitasi yang jelek, sumur penduduk yang berdekatan dengan aliran air
kotor dan pembuangan kotoran manusia. Air limbah yang mengalir terbuka tidak teratur,
makanan yang dijual di pasar banyak dirubun lalat dan kecoa. Di samping itu
ditemukan sebagian besar masyarakat miskin, bekerja rata-rata 14 jam per hari
dengan gaji di bawah kebutuhan hidup. Sehingga sebagian masyarakat tidak mampu
membeli makanan yang bergizi. Laporan Chadwich ini dilengkapi dengan analisis
data statistic yang bagus dan sahih. Berdasarkan laporan hasil penyelidikan
Chardwich ini, akhirnya parlemen mengeluarkan undang-undang yang isinya
mengatur upaya-upaya peningkatan kesehatan penduduk, termasuk sanitasi
lingkungan, sanitasi tempat-tempat kerja, pabrik, dan sebagainya, pada tahun
1848 John Simon diangkat oleh pemerintah Inggris untuk menangani masalah
kesehatan penduduk (masyarakat).
Pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20 mulai dikembangkan pendidikan untuk tenaga
kesehatan yang professional. Pada tahun 1893 John Hopkins, seorang pedagang
wiski dari Baltimore Amerika mempelopori berdirinya universitas, dan di
dalamnya terdapat sekolah (fakultas) kedokteran. Mulai tahun 1908 sekolah
kedokteran mulai menyebar ke Eropa, Canada, dan sebagainya. Dari kurikulum
sekolah-sekolah kedokteran tersebut terlihat bahwa kesehatan masyarakat sudah
diperhatikan. Mulai tahun kedua para mahasiswa sudah mulai melakukan kegiatan
penerapan ilmu di masyarakat. Pengembangan kurikulum sekolah kedokteran sudah
didasarkan pada suatu asumsi bahwa penyakit dan kesehatan itu merupakan hasil
interaksi yang dinamis antara faktor genetic, lingkungan fisik, lingkungan
social (termasuk kondisi kerja), kebiasaan perorangan dan pelayanan
kedokteran/kesehatan.
Dari segi
pelayanan kesehatan masyarakat, pada tahun 1855 pemerintah Amerika membentuk
Departemen Kesehatan yang pertama kali. Fungsi departemen ini adalah
menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi penduduk (public), termasuk perbaikan dan pengawasan sanitasi lingkungan.
Departemen Kesehatan ini sebenarnya merupakan peningkatan departemen kesehatan
kota, yang telah dibentuk di masing-masing kota, seperti di Baltimor telah
terbentuk pada tahun 1798, South Carolina tahun 1813, Philadelphia tahun 1818,
dan sebagainya. Pada tahun 1872 telah diadakan pertemuan orang-orang yang
mempunyai perhatian kesehatan masyarakat, baik dari universitas maupun dari
pemerintah di kota New York. Pertemuan tersebut menghasilkan Asosiasi Kesehatan
Masyarakat Amerika (American Public
Health Association).
c.
Kesehatan Masyarakat di Indonesia
Sejarah
perkembangan kesehatan masyarakat di Indonesia dimulai sejak pemerintahan
Belanda abad ke-16. Kesehatan masyarakat di Indonesia pada waktu itu dimulai
dengan adanya upaya pemberantasan cacar dan kolera yang sangat ditakuti
masyarakat pada waktu itu. Kolera masuk di Indonesia tahun 1927, dan tahun 1937
terjadi wabah kolera eltor di Indonesia, kemudian pada tahun 1948 cacar masuk
ke Indonesia melalui Singapura dan mulai berkembang di Indonesia. Sehingga
berasal dari wabah kolera tersebut maka pemerintah Belanda pada waktu itu
melakukan upaya-upaya kesehatan masyarakat.
Namun
demikian dibidang kesehatan masyarakat yang lain, pada tahun 1807 pada waktu
pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, dilakukan pelatihan dukun bayi dalam
praktik persalinan. Upaya ini dilakukan dalam rangka penurunan angka kematian
bayi yang tinggi pada waktu itu. Akan tetapi upaya ini tidak berlangsung lama,
karena langkanya tenaga pelatih kebidanan, kemudian baru pada tahun 1930
dimulai lagi dengan didaftarnya para dukun bayi sebagai penolong dan perawatan
persalinan. Selanjutnya baru pada tahun 1952 pada zaman kemerdekaan pelatihan
secara cermat dukun bayi tersebut dilaksanakan lagi.
Pada tahun
1851 sekolah dokter Jawa didirikan oleh dr. Bosch, kepala pelayanan kesehatan
sipil dan militer, dan dokter Bleeker di Indonesia. Sekolah ini terkenal dengan
nama STOVIA (School Tot Oplelding Van
Indiche Arsten) atau sekolah untuk pendidikan dokter pribumi. Pada tahun
1913 didirikan sekolah dokter yang kedua di Surabaya dengan nama NIAS (Nederland Indische Arsten School). Pada
tahun 1927 Stovia berubah menjadi sekolah kedokteran dan akhirnya sejak
berdirinya Universitas Indonesia. Kedua sekolah dokter tersebut mempunyai andil
yang sangat besar dalam menghasilkan tenaga dokter yang mengembangkan kesehatan
masyarakat Indonesia.
Tidak kalah
pentingnya dalam mengembangkan kesehatan masyarakat di Indonesia adalah
berdirinya Pusat Laboratorium Kedokteran di Bandung pada tahun 1888. Kemudian
pada tahun 1938 Pusat Laboratorium ini berubah menjadi ‘Lembaga Eykman’, dan
selanjutnya disusul didirikan laboratorium lain di Medan, Semarang, Makassar,
Surabaya, dan Yogyakarta. Laboratorium-laboratorium ini mempunyai peranan yang
sangat penting dalam rangka menunjang pemberantasan penyakit seperti malaria,
lepra, cacar, dan sebagainya, bahkan untuk bidang kesehatan masyarakat yang
lain seperti: gizi dan sanitasi.
Pada tahun
1922 pes masuk ke Indonesia dan pada tahun 1933, 1934, dan 1935 terjadi epidemi
di beberapa tempat terutama di pulau Jawa. Kemudian mulai tahun 1935 dilakukan
program pemberantasan pes ini, dengan melakukan penyemprotan DDT terhadap
rumah-rumah penduduk dan juga vaksinasi massal. Tercatat sampai pada tahun
1941, 15 juta orang telah memperoleh suntikan vaksinasi. Pada tahun 1925
Hydrich seorang petugas kesehatan pemerintah Belanda melakukan pengamatan terhadap
masalah tingginya angka kematian dan kesakitan di Banyumas-Purwokerto pada
waktu itu. Dari hasil pengamatan dan analisisnya ia menyimpulkan bahwa penyebab
tingginya angka kematian dan kesakitan itu adalah karena jeleknya kondisi
sanitasi lingkungan. Masyarakat pada waktu itu membuang kotorannya di sembarang
tempat, seperti di kebun, di kali, di selokan, bahkan di pinggir jalan, padahal
mereka mengambil air minum juga dari kali. Selanjutnya ia berkesimpulan bahwa
kondisi sanitasi lingkungan ini disebabkan karena perilaku penduduk. Oleh sebab
itu, untuk memulai upaya kesehatan masyarakat Hydrich mengembangkan daerah
percontohan dengan melakukan ‘propaganda’ (pendidikan) penyuluhan kesehatan.
Sampai sekarang usaha Hydrich ini dianggap sebagai awal kesehatan masyarakat di
Indonesia.
Memasuki
zaman kemerdekaan, salah satu tonggak penting perkembangan kesehatan masyarakat
di Indonesia adalah diperkenalkannya Konsep Bandung (Bandung Plan) pada tahun 1951 oleh Dr. Y. Leimena dan dr. Patah,
yang selanjutnya dikenal dengan Patah-Leimena. Dalam konsep ini mulai
diperkenalkan bahwa dalam pelayanan kesehatan masyarakat, aspek kuratif dan
preventif tidak dapat dipisahkan. Hal ini berarti dalam mengembangkan sistem
pelayanan kesehatan di Indonesia kedua aspek ini tidak boleh dipisahkan, baik
di Rumah Sakit maupun di Puskesmas.
Selanjutnya
pada tahun 1956 dimulai kegiatan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari
upaya pengembangan kesehatan masyarakat. Pada tahun 1956 ini oleh dr. Y.
Sulianti didirikan ‘Proyek Bekasi’ (tepatnya Lemah Abang) sebagian proyek
percontohan atau model pelayanan bagi pengembangan kesehatan masyarakat
pedesaan di Indonesia, dan sebagai pusat pelatihan tenaga kesehatan. Proyek ini
di samping sebagai model atau konsep keterpaduan antara pelayanan kesehatan
pedesaan dan pelayanan medis, juga menekankan pada pendekatan tim dalam
pengelolaan program kesehatan. Untuk melancarkan penerapan konsep pelayanan
terpadu ini terpilih 8 desa wilayah pengembangan masyarakat, yaitu: Inderapura
(Sumatera Utara), Lampung, Bojong Loa (Jawa Barat), Sleman (Jawa Tengah),
Godean (Yogyakarta), Mojosari (Jawa Timur), Kesiman (Bali), dan Barabai
(Kalimantan Selatan). Kedelapan wilayah tersebut merupakan cikal bakal sistem
Puskesmas sekarang ini.
Pada bulan
November 1967, dilakukan seminar yang membahas dan merumuskan program kesehatan
masyarakat terpadu sesuai dengan kondisi dan kemampuan rakyat Indonesia. Pada
waktu itu dibahas konsep Puskesmas yang dibawakan oleh dr. Achmad Dipodilogo,
yang mengacu kepada Konsep Bandung dan Proyek Bekasi. Kesimpulan seminar ini
adalah disepakatinya sistem Puskesmas yang terdiri dari tipe A, B, dan C.
dengan menggunakan hasil-hasil seminar tersebut Departemen Kesehatan menyiapkan
rencana induk pelayanan kesehatan terpadu di Indonesia. Akhirnya pada tahun
1968 dalam rapat kerja kesehatan nasional, dicetuskan bahwa Puskesmas merupakan
sistem pelayanan kesehatan terpadu, yang kemudian dikembangkan oleh pemerintah
(Departemen Kesehatan) menjadi Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).
Puskesmas disepakati sebagai suatu unit pelayanan kesehatan yang memberikan
pelayanan kuratif dan preventif secara terpadu, menyeluruh dan mudah dijangkau,
dalam wilayah kerja kecamatan atau sebagian kecamatan di kotamadya atau
kabupaten. Kegiatan pokok Puskesmas mencakup:
1)
Kesehatan ibu dan anak
2)
Keluarga Berencana
3)
Gizi
4)
Kesehatan Lingkungan
5)
Pencegahan Penyakit Menular
6)
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
7)
Pengobatan
8)
Perawatan Kesehatan Masyarakat
9)
Usaha Kesehatan Gizi
10)
Usaha Kesehatan Sekolah
11)
Usaha Kesehatan Jiwa
12)
Laboratorium
13)
Pencatatan dan Pelaporan
Pada tahun 1969, system Puskesmas hanya disepakati 2 saja, yakni
tipe A dan B, di mana tipe A dikelola oleh dokter sedangkan tipe B hanya
dikelola oleh seorang paramedic saja. Dengan adanya perkembangan tenaga medis,
maka akhirnya pada tahun 1979 tidak diadakan perbedaan Puskesmas tipe A dan
tipe B, hanya ada satu tipe Puskesmas saja, yang dikepalai oleh seorang dokter.
Pada tahun 1979 juga dikembangkan satu piranti manajerial guna penilaian
Puskesmas, yakni stratifikasi Puskesmas sehingga dibedakan adanya:
a)
Strata satu : Puskesmas dengan prestasi sangat baik
b)
Strata dua : Puskesmas dengan prestasi rata-rata atau
standar
c)
Strata tiga : Puskesmas dengan prestasi di bawah rata-rata
Selanjutnya Puskesmas juga dilengkapi dengan dua piranti
manajerial yang lain, yakni micro
planning untuk perencanaan dan, lokakarya mini (lokmin) untuk pengoperasian
kegiatan dan pengembangan kerja sama tim. Akhirnya pada tahun 1984 tanggung
jawab Puskesmas ditingkatkan lagi, dengan berkembangnya program paket terpadu
kesehatan dan keluarga berencana (Posyandu). Program ini mencakup:
a)
Kesehatan ibu dan anak
b)
Keluarga berencana
c)
Gizi
d)
Penanggulangan penyakit diare
e)
Imunisasi
Puskesmas mempunyai tanggung jawab dalam pembinaan dan
pengembangan Posyandu di wilayah kerjanya masing-masing.
Tujuan dikembangkannya Posyandu sejalan dengan tujuan pembangunan
kesehatan yakni:
a.
Mempercepat penurunan angka kematian bayi dan anak balita, dan
angka kelahiran
b.
Mempercepat penerimaan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera
(NKKBS)
c.
Berkembangnya kegiatan-kegiatan masyarakat sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuannya.
Pelayanan Posyandu menganut sistem 5 meja dengan urutan sebagai
berikut:
a.
Meja 1 : Pendaftaran pengunjung Posyandu dilayani oleh
kader kesehatan
b.
Meja 2 : Penimbangan bayi, balita dan ibu hamil,
dilayani oleh kader kesehatan
c.
Meja 3 : Pencatatan dan hasil penimbangan dari Meja 2
di dalam KMS, dilayani oleh kader kesehatan
d.
Meja 4 : Penyuluhan kepada ibu bayi/balita dan ibu
hamil, oleh kader kesehatan
e.
Meja 5 : Pemberian imunisasi, pemasangan alat
kontrasepsi, atau pengobatan bagi yang memerlukan, dan periksa ibu hamil,
dilayani oleh kader kesehatan. Bila ada kasus yang tidka dapat ditangani
dirujuk ke Puskesmas
d.
Definisi Kesehatan Masyarakat
Sudah banyak ahli kesehatan membuat batasan kesehatan masyarakat.
Secara kronologis batasan-batasan kesehatan masyarakat mulai dengan batasan
yang sangat sempit sampai batasan yang luas seperti yang kita anut saa ini
dapat diringkas seperti berikut ini. Batasan yang paling tua, dikatakan bahwa
kesehatan adalah upaya-upaya untuk mengatasi masalah-masalah sanitasi yang
mengganggu kesehatan. Dengan kata lain kesehatan masyarakat adalah sama dengan
sanitasi. Upaya memperbaiki dan meningkatkan sanitasi lingkungan merupakan
kegiatan kesehatan masyarakat. Kemudian pada akhir abad ke-18 dengan
diketemukan bakteri-bakteri penyebab penyakit dan beberapa jenis imunisasi,
kegiatan kesehatan masyarakat adalah pencegahan penyakit yang terjadi dalam masyarakat
melalui perbaikan sanitasi lingkungan dan pencegahan penyakit melalui
imunisasi.
Pada awal abad ke-19, kesehatan masyarakat sudah berkembang dengan
baik, kesehatan masyarakat diartikan suatu upaya integrasi antara ilmu sanitasi
dengan ilmu kedokteran. Sedangkan ilmu kedokteran itu sendiri merupakan
integrasi ilmu biologi dan ilmu sosial. Dalam perkembangan selanjutnya,
kesehatan masyarakat diartikan sebagai aplikasi dan kegiatan terpadu antara
sanitasi dan pengobatan (kedokteran) dalam mencegah penyakit yang melanda
penduduk atau masyarakat. Oleh karena masyarakat sebagai objek penerapan ilmu
kedokteran dan sanitasi mempunyai aspek social ekonomi dan budaya yang sangat
kompleks. Akhirnya kesehatan masyarakat diartikan sebagai aplikasi keterpaduan
antara ilmu kedokteran, sanitasi, dan ilmu social dalam mencegah penyakit yang
terjadi di masyarakat.
Dari pengalaman-pengalaman praktik kesehatan masyarakat yang telah
berjalan sampai pada awal abad ke-20, Winslow (1920) akhirnya membuat batasan
kesehatan masyarakat yang sampai sekarang masih relevan, yakni: kesehatan
masyarakat (public health) adalah
ilmu dan seni: mencegah penyakit, memperpanjang hidup, dan meningkatkan
kesehatan, melalui ‘Usaha-usaha Pengorganisasian Masyarakat’ untuk:
a.
Perbaikan sanitasi lingkungan
b.
Pemberantasan penyakit-penyakit menular
c.
Pendidikan untuk kebersihan perorangan
d.
Pengorganisasian pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk
diagnosis dini dan pengobatan
e.
Pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi
kebutuhan hidup yang layak dalam memelihara kesehatannya
Dari batasan tersebut tersirat bahwa kesehatan masyarakat adalah
kombinasi antara teori (ilmu) dan praktik (seni) yang bertujuan untuk mencegah
penyakit, memperpanjang usia hidup, dan meningkatkan kesehatan penduduk
(masyarakat). Ketiga tujuan tersebut sudah barang tentu saling berkaitan dan
mempunyai pengertian yang luas. Untuk mencapai ketiga tujuan pokok tersebut,
Winslow mengusulkan cara atau pendekatan yang dianggap paling efektif adalah
melalui ‘upaya-upaya pengorganisasian masyarakat’.
Pengorganisasian masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan
kesehatan masyarakat, pada hakikatnya adalah menghimpun potensi masyarakat atau
sumber daya (resources) yang ada di
dalam masyarakat itu sendiri untuk upaya-upaya, yaitu: preventif, kuratif,
promotif, dan rehabilitative kesehatan mereka sendiri. Pengorganisasian
masyarakat dalam bentuk penghimpunan dan pengembangan potensi dan sumber-sumber
daya masyarakat dalam konteks ini pada hakikatnya adalah menumbuhkan, membina,
dan mengembangkan partisipasi masyarakat di bidang pembangunan kesehatan.
Menumbuhkan partisipasi masyarakat tidaklah mudah, memerlukan
pengertian, kesadaran, dan penghayatan oleh masyarakat terhadap masalah-masalah
kesehatan mereka sendiri, serta
upaya-upaya pemecahannya. Untuk itu, diperlukan pendidikan kesehatan masyarakat
melalui pengorganisasian dan pengembangan masyarakat. Jadi, pendekatan utama
yang diajukan oleh Winslow dalam rangka mencapai tujuan-tujuan kesehatan
masyarakat sebenarnya adalah salah satu strategi atau pendekatan pendidikan
kesehatan.
Selanjutnya, Winslow secara implicit mengatakan bahwa kegiatan
kesehatan masyarakat itu mencakup: a) sanitasi lingkungan, b) pemberantasan
penyakit, c) pendidikan kesehatan (hygiene), d) manajemen (pengorganisasian)
pelayanan kesehatan, dan e) pengembangan rekayasa social dalam rangka
pemeliharaan kesehatan masyarakat. Dari 5 bidang kegiatan kesehatan masyarakat
tersebut, 2 kegiatan di antaranya yakni kegiatan pendidikan hygiene dan
rekayasa social adalah menyangkut kegiatan pendidikan kesehatan. Sedangkan
kegiatan bidang sanitasi, pemberantasan penyakit, dan pelayanan kesehatan,
sesungguhnya tidak sekadar penyediaan sarana fisik, fasilitas kesehatan dan
pengobatan saja, tetapi perlu upaya pemberian pengertian dan kesadaran kepada
masyarakat tentang manfaat dan pentingnya upaya-upaya atau fasilitas fisik
tersebut dalam rangka pemeliharaan, peningkatan dan pemulihan kesehatan mereka.
Apabila tidak disertai dengan upaya-upaya ini maka sarana-saran atau fasilitas
pelayanan tersebut tidak atau kurang berhasil dan optimal.
Batasan lain disampaikan oleh Ikatan Dokter Indonesia Amerika
(1948), kesehatan masyarakat adalah ilmu dan seni memelihara, melindungi dan
meningkatkan kesehatan masyarakat melalui usaha-usaha pengorganisasian
masyarakat. Batasan ini mencakup pula usaha-usaha masyarakat dalam pengadaan
pelayanan kesehatan, pencegahan, dan pemberantasan penyakit. Dari perkembangan
batasan kesehatan masyarakat tersebut dapat disimpulkan bahwa kesehatan
masyarakat itu meluas dari hanya berurusan sanitasi, teknik sanitasi, ilmu kedokteran
kuratif, ilmu kedokteran pencegahan sampai ilmu social, dan itulah cakupan ilmu
kesehatan masyarakat.
e.
Ruang Lingkup Kesehatan Masyarakat
Seperti disebutkan di atas bahwa kesehatan masyarakat adalah ilmu
dan seni. Oleh sebab itu, ruang lingkup kesehatan masyarakat dapat dilihat dari
dua hal tersebut. Sebagai ilmu, kesehatan masyarakat pada mulanya hanya
mencakup 2 disiplin keilmuan, yakni ilmu bio-medis (medical biologi) dan
ilmu-ilmu social (social sciences).
Akan tetapi sesuai dengan perkembangan ilmu, maka disiplin ilmu yang mendasari
ilmu kesehatan masyarakat pun berkembang. Sehingga sampai pada saat ini
disiplin ilmu yang mendasari ilmu kesehatan masyarakat antara lain, mencakup:
ilmu biologi, ilmu kedokteran, ilmu kimia, fisika, ilmu lingkungan, sosiologi,
antropologi, psikologi, ilmu pendidikan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, ilmu
kesehatan masyarakat merupakan ilmu yang multidisiplin.
Secara garis besar, disiplin ilmu yang menopang ilmu kesehatan
masyarakat, atau sering disebut sebagai pilar utama ilmu kesehatan masyarakat
ini, antara lain:
a)
Epidemiologi
b)
Biostatistik/statistic kesehatan
c)
Kesehatan lingkungan
d)
Pendidikan kesehatan dan ilmu perilaku
e)
Administrasi kesehatan masyarakat
f)
Gizi masyarakat
g)
Kesehatan kerja
Masalah kesehatan masyarakat adalah multi kausal maka pemecahannya
harus secara multidisiplin. Oleh sebab itu, kesehatan masyarakat sebagai seni
atau praktiknya mempunyai bentangan yang luas. Semua kegiatan baik yang
langsung maupun tidak langsung untuk mencegah penyakit (preventif), meningkatkan
kesehatan (promotif), terapi (terapi fisik, mental, dan sosial) atau kuratif,
maupun pemulihan (rehabilitatif) kesehatan (fisik, mental, social) adalah upaya
kesehatan masyarakat. Misalnya: pembersihan lingkungan, penyediaan air bersih,
pengawasan makanan, perbaikan gizi, penyelenggaraan pelayanan kesehatan
masyarakat, cara pembuangan tinja, pengelolaan sampah dan air limbah,
pengawasan sanitasi tempat-tempat umum, pemberantasan sarang nyamuk, allat,
kecoa, dan sebagainya.
Secara garis besar, upaya-upaya yang dapat dikategorikan sebagai
seni atau penerapan ilmu kesehatan masyarakat antara lain:
a)
Pemberantasan penyakit, baik menular maupun tidak menular
b)
Perbaikan sanitasi lingkungan
c)
Perbaikan lingkungan pemukiman
d)
Pemberantasan vector
e)
Pendidikan (penyuluhan) kesehatan masyarakat
f)
Pelayanan kesehatan ibu dan anak
g)
Pembinaan gizi masyarakat
h)
Pengawasan sanitasi tempat-tempat umum
i)
Pengawasan obat dan minuman
j)
Pembinaan peran serta masyarakat, dan sebagainya.
Dikutip dari:
Buku:
Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni
Penulis:
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo
Keren.
BalasHapusKunjunga balik yo...
http://dalimunttebayo.blogspot.com/
iyaaa :)
Hapus