Jumat, 25 Oktober 2013

Kesehatan Masyarakat

KESEHATAN MASYARAKAT

A.       Sekelumit Sejarah Kesehatan Masyarakat
Membicarakan kesehatan masyarakat tidak terlepas dari dua tokoh metologi ‘Yunani, yakni Asclepius dan Higeia. Berdasarkan cerita mitos Yunani tersebut Asclepius disebutkan sebagai dokter pertama yang tampan dan pandai meskipun tidak disebutkan sekolah atau pendidikan apa yang telah ditempuhnya, tetapi diceritakan bahwa ia dapat mengobati penyakit dan bahkan melakukan bedah berdasarkan prosedur-prosedur tertentu (surgical procedure) dengan baik.
Higeia, seorang asistennya, yang kemudian diceritakan sebagai istrinya, juga telah melakukan upaya-upaya kesehatan. Beda antara Asclepius dengan Higeia dalam pendekatan/penanganan masalah kesehatan sebagai berikut:
1)      Asclepius melakukan pendekatan (pengobatan penyakit) setelah penyakit tersebut terjadi pada seseorang
2)      Higeia mengajarkan kepada pengikutnya dalam pendekatan masalah kesehatan melalui ‘hidup seimbang’, yaitu menghindari makanan/minuman beracun, makan makanan yang bergizi (baik), cukup istirahat, dan melakukan olahraga. Apabila orang sudah jatuh sakit, Higeia lebih menganjurkan melakukan upaya-upaya secara alamiah untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut, antara lain lebih baik dengan memperkuat tubuhnya dengan makanan yang baik, daripada dengan pengobatan/pembedahan.
Dari cerita mitos Yunani. Asclepius dan Higeia tersebut akhirnya muncul dua aliran atau pendekatan dalam menangani masalah-masalah kesehatan. Kelompok atau aliran pertama cenderung menunggu terjadinya penyakit (setelah sakit), yang selanjutnya disebut pendekatan kuratif (pengobatan). Kelompok ini pada umumnya terdiri dari dokter, dokter gigi, psikiater, dan praktisi-praktisi lain yang melakukan pengobatan penyakit baik fisik, psikis, mental maupun social. Sedangkan kelompok kedua, seperti halnya pendekatan Higeia, cenderung melakukan upaya-upaya pencegahan penyakit dan meningkatkan kesehatan (promosi) sebelum terjadinya penyakit. Kedalam kelompok ini termasuk para petugas kesehatan masyarakat lulusan-lulusan sekolah atau institusi kesehatan masyarakat dari berbagai jenjang.
Dalam perkembangan selanjutnya, seolah-olah timbul garis pemisah antara kedua kelompok profesi, yakni pelayanan kesehatan kuratif (curative health care), dan pelayanan pencegahan atau preventif (preventive health care). Kedua kelompok ini dapat dilihat perbedaan pendekatan yang dilakukan antara lain sebagai berikut. Pertama, pendekatan kuratif pada umumnya dilakukan terhadap sasaran secara individual, kontak terhadap sasaran (pasien) pada umumnya hanya sekali saja. Jarak antara petugas kesehatan (dokter, drg, dan sebagainya) dengan pasien atau sasaran cenderung jauh. Sedangkan pendekatan preventif, sasaran atau pasien adalah masyarakat (bukan perorangan) masalah-masalah yang ditangani pada umumnya juga masalah-masalah yang menjadi masalah masyarakat, bukan masalah individu. Hubungan antara petugas kesehatan dengan masyarakat (sasaran) lebih bersifat kemitraan, tidak seperti antara dokter-pasien.
Kedua, pendekatan kuratif cenderung bersifat reaktif, artinya kelompok ini pada umumnya hanya menunggu masalah datang. Seperti dokter yang menunggu pasien datang di Puskesmas atau tempat praktik. Kalau tidak ada pasien datang, berarti tidak ada masalah maka selesailah tugas mereka bahwa masalah kesehatan adalah adanya penyakit. Sedangkan kelompok preventif lebih menggunakan pendekatan proaktif, artinya tidak menunggu adanya masalah, tetapi mencari masalah. Petugas kesehatan masyarakat tidka hanya menunggu pasien datang di kantor atau ditempat praktik mereka, tetapi harus turun ke masyarakat mencari dan mengidentifikasi masalah yang ada di masyarakat, dan melakukan tindakan.
Ketiga, pendekatan kuratif cenderung melihat dan menangani klien atau pasien lebih kepada system biologis manusia atau pasien hanya dilihat secara partial, padahal manusia terdiri dari kesehatan bio-psikologis dan sosial, yang terlihat antara aspek satu dengan yang lainnya. Sedangkan pendekatan preventif melihat klien sebagai makhluk yang utuh, dengan pendekatan yang holistik. Terjadinya penyakit tidak semata-mata karena terganggunya system biologi, individual, tetapi dalam konteks yang luas, aspek biologis, psikologis dan sosial. Dengan demikian pendekatannya pun tidak individual dan partial, tetapi harus secara menyeluruh atau holistik.


B.        Perkembangan Kesehatan Masyarakat
Sejarah panjang perkembangan masyarakat, tidak hanya dimulai pada munculnya ilmu pengetahuan saja, melainkan sudah dimulai sebelum berkembangnya ilmu pengetahuan modern. Oleh sebab itu, akan sedikit diuraikan perkembangan kesehatan masyarakat sebelum perkembangan ilmu pengetahuan (pre-scientific period) dan sesudah ilmu pengetahuan itu berkembang (scientific period).

a.        Periode Sebelum Ilmu Pengetahuan
Dari kebudayaan yang paling luas yakni Babylonia, Mesir, Yunani, dan Roma telah tercatat bahwa manusia telah melakukan usaha untuk penanggulangan masalah-masalah kesehatan masyarakat dan penyakit. Telah ditemukan pula bahwa pada zaman tersebut terdapat dokumen-dokumen tertulis, bahkan peraturan-peraturan tertulis yang mengatur tentang pembuangan air limbah atau drainase pemukiman pembangunan kota, pengaturan air minum, dan sebagainya.
Pada zaman ini juga diperoleh catatan bahwa telah dibangun tempat pembuangan kotoran (latrin) umum, meskipun alasan dibuatnya latrin tersebut bukan karena kesehatan. Dibangunnya latrin umum pada saat itu, bukan karena tinja atau kotoran manusia dapat menularkan penyakit, tetapi karena tinja menimbulkan bau tidak enak dan pandangan yang tidak menyedapkan. Demikian juga masyarakat membuat sumur pada waktu itu dengan alasan bahwa minum air kali yang mengalir yang sudah kotor itu terasa tidak enak, bukan karena minum air kali dapat menyebabkan penyakit (Greene, 1984). Dari dokumen lain tercatat bahwa pada zaman Romawi kuno telah dikeluarkan suatu peraturan yang mengharuskan masyarakat mencatatkan pembangunan rumah, melaporkan adanya binatang-binatang yang berbahaya, dan binatang-binatang piaraaan yang menimbulkan bau, dan sebagainya. Bahkan pada waktu itu telah ada keharusan pemerintah kerajaan untuk melakukan supervise atau peninjauan kepada tempat-tempat minuman (public bar), warung makan, tempat-tempat prostitusi dan sebagainya (Hanlon, 1974).
Kemudian pada permulaan abad pertama sampai dengan kira-kira abad ke-7 kesehatan masyarakat makin dirasakan kepentingannya karena berbagai macam penyakit menular mulai menyerang sebagian besar penduduk dan telah menjadi epidemi bahkan di beberapa tempat telah menjadi endemi. Penyakit kolera telah tercatat sejak abad ke-7 menyebar dari Asia khususnya Timur Tengah dan Asia Selatan ke Afrika. India disebutkan sejak abad ke-7 telah menjadi pusat endemi kolera. Di samping itu, lepra juga telah menyebar mulai dari Mesir ke Asia Kecil dan Eropa melalui para emigrant. Upaya-upaya untuk mengatasi epidemi dan endemi penyakit-penyakit tersebut, orang telah mulai memperhatikan masalah lingkungan, terutama hygiene dan sanitasi lingkungan. Pembuangan kotoran manusia (latrin), perusahaan air minum yang bersih, pembuangan sampah, ventilasi rumah telah tercatat menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pada waktu itu.
Pada abad ke-14 mulai terjadi wabah pes yang paling dahsyat, di China dan India. Pada tahun 1340 tercatat 13 juta orang meninggal karena wabah pes, dan di India, Mesir dan Gaza dilaporkan 13 ribu orang meninggal setiap hari karena pes. Menurut catatan jumlah meninggal karena wabah pes di seluruh dunia waktu itu mencapai lebih dari 60 juta orang. Oleh sebab itu, waktu itu disebut ‘The Black Death’. Keadaan atau wabah penyakit menular ini berlangsung sampai menjelang abad ke-18. Di samping wabah pes, wabah kolera, dan tipus masih berlangsung. Tercatat pada tahun 1603 lebih dari 1 di antara 6 orang meninggal dan pada tahun 1665 sekitar 1 di antara 5 orang meninggal karena penyakit menular. Pada tahun 1759, 70 ribu orang penduduk kepulauan Cyprus meninggal karena penyakit menular. Penyakit-penyakit lain yang menjadi wabah pada waktu itu antara lain tipus, disentri, dan sebagainya.
Dari catatan-catatan tersebut dapat dilihat bahwa masalah kesehatan masyarakat khususnya penyebaran penyakit menular sudah begitu meluas dan dahsyat. Namun, upaya pemecahan masalah kesehatan masyarakat secara menyeluruh belum dilakukan pada zaman itu.

b.        Periode Ilmu Pengetahuan
Bangkitnya ilmu pengetahuan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 mempunyai dampak yang luas terhadap segala aspek kehidupan manusia, termasuk kesehatan. Kalau pada abad-abad sebelumnya masalah kesehatan khususnya penyakit, hanya dilihat sebagi fenomena biologis, dan pendekatan yang dilakukan hanya secara biologis yang sempit, maka mulai abad ke-19 masalah kesehatan adalah masalah yang kompleks. Oleh sebab itu, pendekatan masalah kesehatan harus dilakukan secara komprehensif, multisektoral.
Di samping itu, pada abad ilmu pengetahuan ini juga mulai ditemukan berbagai macam penyebab penyakit dan vaksin sebagai pencegah penyakit, yaitu Louis Pasteur berhasil menemukan vaksin untuk mencegah penyakit cacat, Joseph Lister menemukan asam karbol (carbolic acid) untuk sterilisasi ruang operasi, dan William Marton menemukan eter sebagai anestesi pada waktu operasi.
Penyelidikan dan upaya-upaya kesehatan masyarakat secara ilmiah mulai dilakukan pada tahun 1832 di Inggris. Pada waktu itu sebagian besar rakyat Inggris terserang epidemi (wabah) kolera, terutama terjadi pada masyarakat yang tinggal di perkotaan yang miskin. Parlemen Inggris membentuk komisi untuk penyelidikan dan penanganan masalah wabah kolera ini. Edwin Chardwich seorang pakar social (social scientist) sebagai ketua komisi ini melaporkan hasil penyelidikannya sebagai berikut: Masyarakat hidup di suatu kondisi sanitasi yang jelek, sumur penduduk yang berdekatan dengan aliran air kotor dan pembuangan kotoran manusia. Air limbah yang mengalir terbuka tidak teratur, makanan yang dijual di pasar banyak dirubun lalat dan kecoa. Di samping itu ditemukan sebagian besar masyarakat miskin, bekerja rata-rata 14 jam per hari dengan gaji di bawah kebutuhan hidup. Sehingga sebagian masyarakat tidak mampu membeli makanan yang bergizi. Laporan Chadwich ini dilengkapi dengan analisis data statistic yang bagus dan sahih. Berdasarkan laporan hasil penyelidikan Chardwich ini, akhirnya parlemen mengeluarkan undang-undang yang isinya mengatur upaya-upaya peningkatan kesehatan penduduk, termasuk sanitasi lingkungan, sanitasi tempat-tempat kerja, pabrik, dan sebagainya, pada tahun 1848 John Simon diangkat oleh pemerintah Inggris untuk menangani masalah kesehatan penduduk (masyarakat).
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 mulai dikembangkan pendidikan untuk tenaga kesehatan yang professional. Pada tahun 1893 John Hopkins, seorang pedagang wiski dari Baltimore Amerika mempelopori berdirinya universitas, dan di dalamnya terdapat sekolah (fakultas) kedokteran. Mulai tahun 1908 sekolah kedokteran mulai menyebar ke Eropa, Canada, dan sebagainya. Dari kurikulum sekolah-sekolah kedokteran tersebut terlihat bahwa kesehatan masyarakat sudah diperhatikan. Mulai tahun kedua para mahasiswa sudah mulai melakukan kegiatan penerapan ilmu di masyarakat. Pengembangan kurikulum sekolah kedokteran sudah didasarkan pada suatu asumsi bahwa penyakit dan kesehatan itu merupakan hasil interaksi yang dinamis antara faktor genetic, lingkungan fisik, lingkungan social (termasuk kondisi kerja), kebiasaan perorangan dan pelayanan kedokteran/kesehatan.
Dari segi pelayanan kesehatan masyarakat, pada tahun 1855 pemerintah Amerika membentuk Departemen Kesehatan yang pertama kali. Fungsi departemen ini adalah menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi penduduk (public), termasuk perbaikan dan pengawasan sanitasi lingkungan. Departemen Kesehatan ini sebenarnya merupakan peningkatan departemen kesehatan kota, yang telah dibentuk di masing-masing kota, seperti di Baltimor telah terbentuk pada tahun 1798, South Carolina tahun 1813, Philadelphia tahun 1818, dan sebagainya. Pada tahun 1872 telah diadakan pertemuan orang-orang yang mempunyai perhatian kesehatan masyarakat, baik dari universitas maupun dari pemerintah di kota New York. Pertemuan tersebut menghasilkan Asosiasi Kesehatan Masyarakat Amerika (American Public Health Association).

c.         Kesehatan Masyarakat di Indonesia
Sejarah perkembangan kesehatan masyarakat di Indonesia dimulai sejak pemerintahan Belanda abad ke-16. Kesehatan masyarakat di Indonesia pada waktu itu dimulai dengan adanya upaya pemberantasan cacar dan kolera yang sangat ditakuti masyarakat pada waktu itu. Kolera masuk di Indonesia tahun 1927, dan tahun 1937 terjadi wabah kolera eltor di Indonesia, kemudian pada tahun 1948 cacar masuk ke Indonesia melalui Singapura dan mulai berkembang di Indonesia. Sehingga berasal dari wabah kolera tersebut maka pemerintah Belanda pada waktu itu melakukan upaya-upaya kesehatan masyarakat.
Namun demikian dibidang kesehatan masyarakat yang lain, pada tahun 1807 pada waktu pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, dilakukan pelatihan dukun bayi dalam praktik persalinan. Upaya ini dilakukan dalam rangka penurunan angka kematian bayi yang tinggi pada waktu itu. Akan tetapi upaya ini tidak berlangsung lama, karena langkanya tenaga pelatih kebidanan, kemudian baru pada tahun 1930 dimulai lagi dengan didaftarnya para dukun bayi sebagai penolong dan perawatan persalinan. Selanjutnya baru pada tahun 1952 pada zaman kemerdekaan pelatihan secara cermat dukun bayi tersebut dilaksanakan lagi.
Pada tahun 1851 sekolah dokter Jawa didirikan oleh dr. Bosch, kepala pelayanan kesehatan sipil dan militer, dan dokter Bleeker di Indonesia. Sekolah ini terkenal dengan nama STOVIA (School Tot Oplelding Van Indiche Arsten) atau sekolah untuk pendidikan dokter pribumi. Pada tahun 1913 didirikan sekolah dokter yang kedua di Surabaya dengan nama NIAS (Nederland Indische Arsten School). Pada tahun 1927 Stovia berubah menjadi sekolah kedokteran dan akhirnya sejak berdirinya Universitas Indonesia. Kedua sekolah dokter tersebut mempunyai andil yang sangat besar dalam menghasilkan tenaga dokter yang mengembangkan kesehatan masyarakat Indonesia.
Tidak kalah pentingnya dalam mengembangkan kesehatan masyarakat di Indonesia adalah berdirinya Pusat Laboratorium Kedokteran di Bandung pada tahun 1888. Kemudian pada tahun 1938 Pusat Laboratorium ini berubah menjadi ‘Lembaga Eykman’, dan selanjutnya disusul didirikan laboratorium lain di Medan, Semarang, Makassar, Surabaya, dan Yogyakarta. Laboratorium-laboratorium ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka menunjang pemberantasan penyakit seperti malaria, lepra, cacar, dan sebagainya, bahkan untuk bidang kesehatan masyarakat yang lain seperti: gizi dan sanitasi.
Pada tahun 1922 pes masuk ke Indonesia dan pada tahun 1933, 1934, dan 1935 terjadi epidemi di beberapa tempat terutama di pulau Jawa. Kemudian mulai tahun 1935 dilakukan program pemberantasan pes ini, dengan melakukan penyemprotan DDT terhadap rumah-rumah penduduk dan juga vaksinasi massal. Tercatat sampai pada tahun 1941, 15 juta orang telah memperoleh suntikan vaksinasi. Pada tahun 1925 Hydrich seorang petugas kesehatan pemerintah Belanda melakukan pengamatan terhadap masalah tingginya angka kematian dan kesakitan di Banyumas-Purwokerto pada waktu itu. Dari hasil pengamatan dan analisisnya ia menyimpulkan bahwa penyebab tingginya angka kematian dan kesakitan itu adalah karena jeleknya kondisi sanitasi lingkungan. Masyarakat pada waktu itu membuang kotorannya di sembarang tempat, seperti di kebun, di kali, di selokan, bahkan di pinggir jalan, padahal mereka mengambil air minum juga dari kali. Selanjutnya ia berkesimpulan bahwa kondisi sanitasi lingkungan ini disebabkan karena perilaku penduduk. Oleh sebab itu, untuk memulai upaya kesehatan masyarakat Hydrich mengembangkan daerah percontohan dengan melakukan ‘propaganda’ (pendidikan) penyuluhan kesehatan. Sampai sekarang usaha Hydrich ini dianggap sebagai awal kesehatan masyarakat di Indonesia.
Memasuki zaman kemerdekaan, salah satu tonggak penting perkembangan kesehatan masyarakat di Indonesia adalah diperkenalkannya Konsep Bandung (Bandung Plan) pada tahun 1951 oleh Dr. Y. Leimena dan dr. Patah, yang selanjutnya dikenal dengan Patah-Leimena. Dalam konsep ini mulai diperkenalkan bahwa dalam pelayanan kesehatan masyarakat, aspek kuratif dan preventif tidak dapat dipisahkan. Hal ini berarti dalam mengembangkan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia kedua aspek ini tidak boleh dipisahkan, baik di Rumah Sakit maupun di Puskesmas.
Selanjutnya pada tahun 1956 dimulai kegiatan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari upaya pengembangan kesehatan masyarakat. Pada tahun 1956 ini oleh dr. Y. Sulianti didirikan ‘Proyek Bekasi’ (tepatnya Lemah Abang) sebagian proyek percontohan atau model pelayanan bagi pengembangan kesehatan masyarakat pedesaan di Indonesia, dan sebagai pusat pelatihan tenaga kesehatan. Proyek ini di samping sebagai model atau konsep keterpaduan antara pelayanan kesehatan pedesaan dan pelayanan medis, juga menekankan pada pendekatan tim dalam pengelolaan program kesehatan. Untuk melancarkan penerapan konsep pelayanan terpadu ini terpilih 8 desa wilayah pengembangan masyarakat, yaitu: Inderapura (Sumatera Utara), Lampung, Bojong Loa (Jawa Barat), Sleman (Jawa Tengah), Godean (Yogyakarta), Mojosari (Jawa Timur), Kesiman (Bali), dan Barabai (Kalimantan Selatan). Kedelapan wilayah tersebut merupakan cikal bakal sistem Puskesmas sekarang ini.
Pada bulan November 1967, dilakukan seminar yang membahas dan merumuskan program kesehatan masyarakat terpadu sesuai dengan kondisi dan kemampuan rakyat Indonesia. Pada waktu itu dibahas konsep Puskesmas yang dibawakan oleh dr. Achmad Dipodilogo, yang mengacu kepada Konsep Bandung dan Proyek Bekasi. Kesimpulan seminar ini adalah disepakatinya sistem Puskesmas yang terdiri dari tipe A, B, dan C. dengan menggunakan hasil-hasil seminar tersebut Departemen Kesehatan menyiapkan rencana induk pelayanan kesehatan terpadu di Indonesia. Akhirnya pada tahun 1968 dalam rapat kerja kesehatan nasional, dicetuskan bahwa Puskesmas merupakan sistem pelayanan kesehatan terpadu, yang kemudian dikembangkan oleh pemerintah (Departemen Kesehatan) menjadi Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Puskesmas disepakati sebagai suatu unit pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kuratif dan preventif secara terpadu, menyeluruh dan mudah dijangkau, dalam wilayah kerja kecamatan atau sebagian kecamatan di kotamadya atau kabupaten. Kegiatan pokok Puskesmas mencakup:
1)        Kesehatan ibu dan anak
2)        Keluarga Berencana
3)        Gizi
4)        Kesehatan Lingkungan
5)        Pencegahan Penyakit Menular
6)        Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
7)        Pengobatan
8)        Perawatan Kesehatan Masyarakat
9)        Usaha Kesehatan Gizi
10)    Usaha Kesehatan Sekolah
11)    Usaha Kesehatan Jiwa
12)    Laboratorium
13)    Pencatatan dan Pelaporan
Pada tahun 1969, system Puskesmas hanya disepakati 2 saja, yakni tipe A dan B, di mana tipe A dikelola oleh dokter sedangkan tipe B hanya dikelola oleh seorang paramedic saja. Dengan adanya perkembangan tenaga medis, maka akhirnya pada tahun 1979 tidak diadakan perbedaan Puskesmas tipe A dan tipe B, hanya ada satu tipe Puskesmas saja, yang dikepalai oleh seorang dokter. Pada tahun 1979 juga dikembangkan satu piranti manajerial guna penilaian Puskesmas, yakni stratifikasi Puskesmas sehingga dibedakan adanya:
a)        Strata satu    :  Puskesmas dengan prestasi sangat baik
b)        Strata dua     :  Puskesmas dengan prestasi rata-rata atau standar
c)         Strata tiga     :  Puskesmas dengan prestasi di bawah rata-rata
Selanjutnya Puskesmas juga dilengkapi dengan dua piranti manajerial yang lain, yakni micro planning untuk perencanaan dan, lokakarya mini (lokmin) untuk pengoperasian kegiatan dan pengembangan kerja sama tim. Akhirnya pada tahun 1984 tanggung jawab Puskesmas ditingkatkan lagi, dengan berkembangnya program paket terpadu kesehatan dan keluarga berencana (Posyandu). Program ini mencakup:
a)        Kesehatan ibu dan anak
b)        Keluarga berencana
c)         Gizi
d)        Penanggulangan penyakit diare
e)        Imunisasi
Puskesmas mempunyai tanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan Posyandu di wilayah kerjanya masing-masing.
Tujuan dikembangkannya Posyandu sejalan dengan tujuan pembangunan kesehatan yakni:
a.         Mempercepat penurunan angka kematian bayi dan anak balita, dan angka kelahiran
b.         Mempercepat penerimaan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS)
c.         Berkembangnya kegiatan-kegiatan masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Pelayanan Posyandu menganut sistem 5 meja dengan urutan sebagai berikut:
a.         Meja 1          :  Pendaftaran pengunjung Posyandu dilayani oleh kader kesehatan
b.         Meja 2          :  Penimbangan bayi, balita dan ibu hamil, dilayani oleh kader kesehatan
c.         Meja 3          :  Pencatatan dan hasil penimbangan dari Meja 2 di dalam KMS, dilayani oleh kader kesehatan
d.         Meja 4          :  Penyuluhan kepada ibu bayi/balita dan ibu hamil, oleh kader kesehatan
e.         Meja 5          :  Pemberian imunisasi, pemasangan alat kontrasepsi, atau pengobatan bagi yang memerlukan, dan periksa ibu hamil, dilayani oleh kader kesehatan. Bila ada kasus yang tidka dapat ditangani dirujuk ke Puskesmas

d.        Definisi Kesehatan Masyarakat
Sudah banyak ahli kesehatan membuat batasan kesehatan masyarakat. Secara kronologis batasan-batasan kesehatan masyarakat mulai dengan batasan yang sangat sempit sampai batasan yang luas seperti yang kita anut saa ini dapat diringkas seperti berikut ini. Batasan yang paling tua, dikatakan bahwa kesehatan adalah upaya-upaya untuk mengatasi masalah-masalah sanitasi yang mengganggu kesehatan. Dengan kata lain kesehatan masyarakat adalah sama dengan sanitasi. Upaya memperbaiki dan meningkatkan sanitasi lingkungan merupakan kegiatan kesehatan masyarakat. Kemudian pada akhir abad ke-18 dengan diketemukan bakteri-bakteri penyebab penyakit dan beberapa jenis imunisasi, kegiatan kesehatan masyarakat adalah pencegahan penyakit yang terjadi dalam masyarakat melalui perbaikan sanitasi lingkungan dan pencegahan penyakit melalui imunisasi.
Pada awal abad ke-19, kesehatan masyarakat sudah berkembang dengan baik, kesehatan masyarakat diartikan suatu upaya integrasi antara ilmu sanitasi dengan ilmu kedokteran. Sedangkan ilmu kedokteran itu sendiri merupakan integrasi ilmu biologi dan ilmu sosial. Dalam perkembangan selanjutnya, kesehatan masyarakat diartikan sebagai aplikasi dan kegiatan terpadu antara sanitasi dan pengobatan (kedokteran) dalam mencegah penyakit yang melanda penduduk atau masyarakat. Oleh karena masyarakat sebagai objek penerapan ilmu kedokteran dan sanitasi mempunyai aspek social ekonomi dan budaya yang sangat kompleks. Akhirnya kesehatan masyarakat diartikan sebagai aplikasi keterpaduan antara ilmu kedokteran, sanitasi, dan ilmu social dalam mencegah penyakit yang terjadi di masyarakat.
Dari pengalaman-pengalaman praktik kesehatan masyarakat yang telah berjalan sampai pada awal abad ke-20, Winslow (1920) akhirnya membuat batasan kesehatan masyarakat yang sampai sekarang masih relevan, yakni: kesehatan masyarakat (public health) adalah ilmu dan seni: mencegah penyakit, memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan, melalui ‘Usaha-usaha Pengorganisasian Masyarakat’ untuk:
a.         Perbaikan sanitasi lingkungan
b.         Pemberantasan penyakit-penyakit menular
c.         Pendidikan untuk kebersihan perorangan
d.         Pengorganisasian pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis dini dan pengobatan
e.         Pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi kebutuhan hidup yang layak dalam memelihara kesehatannya
Dari batasan tersebut tersirat bahwa kesehatan masyarakat adalah kombinasi antara teori (ilmu) dan praktik (seni) yang bertujuan untuk mencegah penyakit, memperpanjang usia hidup, dan meningkatkan kesehatan penduduk (masyarakat). Ketiga tujuan tersebut sudah barang tentu saling berkaitan dan mempunyai pengertian yang luas. Untuk mencapai ketiga tujuan pokok tersebut, Winslow mengusulkan cara atau pendekatan yang dianggap paling efektif adalah melalui ‘upaya-upaya pengorganisasian masyarakat’.
Pengorganisasian masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan kesehatan masyarakat, pada hakikatnya adalah menghimpun potensi masyarakat atau sumber daya (resources) yang ada di dalam masyarakat itu sendiri untuk upaya-upaya, yaitu: preventif, kuratif, promotif, dan rehabilitative kesehatan mereka sendiri. Pengorganisasian masyarakat dalam bentuk penghimpunan dan pengembangan potensi dan sumber-sumber daya masyarakat dalam konteks ini pada hakikatnya adalah menumbuhkan, membina, dan mengembangkan partisipasi masyarakat di bidang pembangunan kesehatan.
Menumbuhkan partisipasi masyarakat tidaklah mudah, memerlukan pengertian, kesadaran, dan penghayatan oleh masyarakat terhadap masalah-masalah kesehatan mereka  sendiri, serta upaya-upaya pemecahannya. Untuk itu, diperlukan pendidikan kesehatan masyarakat melalui pengorganisasian dan pengembangan masyarakat. Jadi, pendekatan utama yang diajukan oleh Winslow dalam rangka mencapai tujuan-tujuan kesehatan masyarakat sebenarnya adalah salah satu strategi atau pendekatan pendidikan kesehatan.
Selanjutnya, Winslow secara implicit mengatakan bahwa kegiatan kesehatan masyarakat itu mencakup: a) sanitasi lingkungan, b) pemberantasan penyakit, c) pendidikan kesehatan (hygiene), d) manajemen (pengorganisasian) pelayanan kesehatan, dan e) pengembangan rekayasa social dalam rangka pemeliharaan kesehatan masyarakat. Dari 5 bidang kegiatan kesehatan masyarakat tersebut, 2 kegiatan di antaranya yakni kegiatan pendidikan hygiene dan rekayasa social adalah menyangkut kegiatan pendidikan kesehatan. Sedangkan kegiatan bidang sanitasi, pemberantasan penyakit, dan pelayanan kesehatan, sesungguhnya tidak sekadar penyediaan sarana fisik, fasilitas kesehatan dan pengobatan saja, tetapi perlu upaya pemberian pengertian dan kesadaran kepada masyarakat tentang manfaat dan pentingnya upaya-upaya atau fasilitas fisik tersebut dalam rangka pemeliharaan, peningkatan dan pemulihan kesehatan mereka. Apabila tidak disertai dengan upaya-upaya ini maka sarana-saran atau fasilitas pelayanan tersebut tidak atau kurang berhasil dan optimal.
Batasan lain disampaikan oleh Ikatan Dokter Indonesia Amerika (1948), kesehatan masyarakat adalah ilmu dan seni memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatan masyarakat melalui usaha-usaha pengorganisasian masyarakat. Batasan ini mencakup pula usaha-usaha masyarakat dalam pengadaan pelayanan kesehatan, pencegahan, dan pemberantasan penyakit. Dari perkembangan batasan kesehatan masyarakat tersebut dapat disimpulkan bahwa kesehatan masyarakat itu meluas dari hanya berurusan sanitasi, teknik sanitasi, ilmu kedokteran kuratif, ilmu kedokteran pencegahan sampai ilmu social, dan itulah cakupan ilmu kesehatan masyarakat.

e.        Ruang Lingkup Kesehatan Masyarakat
Seperti disebutkan di atas bahwa kesehatan masyarakat adalah ilmu dan seni. Oleh sebab itu, ruang lingkup kesehatan masyarakat dapat dilihat dari dua hal tersebut. Sebagai ilmu, kesehatan masyarakat pada mulanya hanya mencakup 2 disiplin keilmuan, yakni ilmu bio-medis (medical biologi) dan ilmu-ilmu social (social sciences). Akan tetapi sesuai dengan perkembangan ilmu, maka disiplin ilmu yang mendasari ilmu kesehatan masyarakat pun berkembang. Sehingga sampai pada saat ini disiplin ilmu yang mendasari ilmu kesehatan masyarakat antara lain, mencakup: ilmu biologi, ilmu kedokteran, ilmu kimia, fisika, ilmu lingkungan, sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu pendidikan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, ilmu kesehatan masyarakat merupakan ilmu yang multidisiplin.
Secara garis besar, disiplin ilmu yang menopang ilmu kesehatan masyarakat, atau sering disebut sebagai pilar utama ilmu kesehatan masyarakat ini, antara lain:
a)        Epidemiologi
b)        Biostatistik/statistic kesehatan
c)         Kesehatan lingkungan
d)        Pendidikan kesehatan dan ilmu perilaku
e)        Administrasi kesehatan masyarakat
f)          Gizi masyarakat
g)        Kesehatan kerja
Masalah kesehatan masyarakat adalah multi kausal maka pemecahannya harus secara multidisiplin. Oleh sebab itu, kesehatan masyarakat sebagai seni atau praktiknya mempunyai bentangan yang luas. Semua kegiatan baik yang langsung maupun tidak langsung untuk mencegah penyakit (preventif), meningkatkan kesehatan (promotif), terapi (terapi fisik, mental, dan sosial) atau kuratif, maupun pemulihan (rehabilitatif) kesehatan (fisik, mental, social) adalah upaya kesehatan masyarakat. Misalnya: pembersihan lingkungan, penyediaan air bersih, pengawasan makanan, perbaikan gizi, penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat, cara pembuangan tinja, pengelolaan sampah dan air limbah, pengawasan sanitasi tempat-tempat umum, pemberantasan sarang nyamuk, allat, kecoa, dan sebagainya.
Secara garis besar, upaya-upaya yang dapat dikategorikan sebagai seni atau penerapan ilmu kesehatan masyarakat antara lain:
a)      Pemberantasan penyakit, baik menular maupun tidak menular
b)      Perbaikan sanitasi lingkungan
c)      Perbaikan lingkungan pemukiman
d)      Pemberantasan vector
e)      Pendidikan (penyuluhan) kesehatan masyarakat
f)       Pelayanan kesehatan ibu dan anak
g)      Pembinaan gizi masyarakat
h)      Pengawasan sanitasi tempat-tempat umum
i)        Pengawasan obat dan minuman
j)        Pembinaan peran serta masyarakat, dan sebagainya.


Dikutip dari:
Buku: Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni
Penulis: Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo

2 komentar: