Jumat, 27 Desember 2013

Penyakit DBD & Penyakit Diare



PENYAKIT MENULAR
(ETIOLOGI, PENULARAN, DIAGNOSIS, PENCEGAHAN, PENANGGULANGAN, GAMBARAN EPIDEMIOLOGI)



PENYAKIT DBD
Demam berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue, yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes, misalnya Aedes aegypti atau Aedes albopictus.
a.         Etiologi
Penyebab utama penyakit demam berdarah adalah virus dengue, yang merupakan virus dari famili Flaviviridae.  Terdapat 4 jenis virus dengue yang diketahui dapat menyebabkan penyakit demam berdarah. Keempat virus tersebut adalah DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
b.        Cara Penularan
Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya. Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari Period sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
c.         Diagnosis
Penyakit demam berdarah didiagnosis dengan melihat gejala yang muncul, seperti demam tinggi dan munculnya ruam. Namun, karena gejala penyakit demam berdarah kadangkala sulit dibedakan dengan penyakit malaria, leptospirosis, maupun demam tifoid maka biasanya pekerja medis atau dokter akan terlebih dahulu mengecek sejarah kesehatan dan perjalanan pasien untuk mencari informasi kemungkinan pasien tergigit nyamuk. Selain itu untuk mendapatkan ketepatan diagnosis yang lebih tinggi umumnya dilakukan berbagai uji laboratorium. Beberapa tes yang biasanya dilakukan adalah studi serologi untuk mengetahui ada tidaknya antibodi terhadap virus dengue di tubuh pasien, menghitung titer antibodi terhadap virus dengue, dan penghitungan sel darah lengkap (sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit). Selain itu, uji laboratorium lain yang dapat dilakukan adalah uji inhibisi hemaglutinasi, uji ELISA, dan reaksi berantai polimerase reverse transcriptase untuk mendeteksi antigen, antibodi, atau asam nukleat spesifik terhadap virus dengue. Uji-uji tersebut dapat memakan waktu beberapa hari.
d.        Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
1)      Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau me ncegah orang yang sehat menjadi sakit.
a)      Surveilans Vektor
Surveilans untuk nyamuk  Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu dan tempat yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau kekebalan insektisida yang di pakai, untuk memprioritaskan  wilayah dan musim untuk pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan penggunaan sebagian besar peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah survei jentik.
Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau memeriksa semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan nyamuk  Aedes aegypti dengan mata telanjang untuk mengetahui  ada tidaknya jentik,yaitu dengan cara visual. Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya.
b)      Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti. Secara garis besar  ada  3 cara pengendalian vektor yaitu:
-            Pengendalian Cara Kimiawi
Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada nyamuk dewasa atau larva. Insektisida yang dapat digunakan adalah dari golongan organoklorin, organofosfor, karbamat, dan pyrethoid. Bahan-bahan insektisida dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray) terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang dapat digunakan terhadap larva Aedes aegypti yaitu dari golongan organofosfor (Temephos) dalam bentuk sand granules yang larut dalam air di tempat perindukan nyamuk atau sering disebut dengan abatisasi.
-            Pengendalian Hayati/Biologik
Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme hewan invertebrate atau vertebrata. Sebagai pengendalian hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit dan pemangsa. Beberapa jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia affinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis golongan cacing nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan Romanomarmis culiforax merupakan parasit yang cocok untuk larva nyamuk.
-            Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi  di seluruh bagian rumah. Hindari menggantung pakaian di kamar mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang tidak terjangkau sinar matahari.
c)      Surveilans Kasus
Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun pasif. Di beberapa negara pada umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun sistem surveilans pasif tidak sensitif dan memiliki spesifisitas yang rendah, namun sistem ini berguna untuk memantau kecenderungan penyebaran dengue jangka panjang. Pada surveilans pasif setiap unit pelayanan kesehatan (rumah sakit, Puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan melaporkan setiap penderita termasuk tersangka DBD  ke dinas kesehatan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Surveilans aktif adalah yang bertujuan memantau penyebaran dengue di dalam masyarakat sehingga mampu mengatakan kejadian, dimana berlangsung penyebaran kelompok serotipe virus yang  bersirkulasi, untuk  mencapai tujuan tersebut sistem ini harus mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik. Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan peringatan dini atau memiliki
kemampuan prediktif terhadap penyebaran epidemi penyakit DBD.
d)     Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk
Gerakan PSN adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah untuk mencegah penyakit DBD yang disertai pemantauan hasil-hasilnya secara terus menerus. Gerakan PSN DBD merupakan bagian terpenting dari keseluruhan upaya pemberantasan penyakit DBD, dan merupakan bagian dari upaya mewujudkan kebersihan lingkungan serta prilaku sehat dalam rangka mencapai masyarakat dan keluarga sejahtera. Dalam membasmi jentik nyamuk penularan DBD dengan cara yang dikenal dengan istilah 3M, yaitu:
-            Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan minimal sekali dalam seminggu.
-            Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa.
-            Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang semuanya dapat menampung air hujan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti.
2)      Sekunder
Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a)      Penemuan, Pertolongan dan Pelaporan Penderita
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan  penderita DBD dilaksanakan oleh petugas kesehatan dan masyarakat dengan cara:
-            Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan pertolongan pertama dengan banyak minum,  kompres dingin dan berikan obat penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.
-            Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan segera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit dilokasi penderita dan rumah disekitarnya  untuk mencegah kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.
-            Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian luar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara penanggulangan seperlunya.
b)      Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria  klinis dan laboratorium.
-            Kriteria Klinis
·           Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.
·           Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan: uji tourniquet positif, petechie, echymosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan malena. Uji tourniquet dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah. Selanjutnya diberikan tekanan di antara sistolik  dan diastolik pada alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku; tekanan ini diusahakan menetap selama percobaan. Setelah  dilakukan tekanan selama 5 menit, diperhatikan timbulnya petekia pada kulit di lengan bawah bagian medial pada sepertiga bagian proksimal. Uji dinyatakan positif apabila pada 1 inchi persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebih dari 20 petekia.
·           Pembesaran hati (hepatomegali).
·           Syok (renjatan), ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan gelisah.
-            Kriteria Laboratorium
·           Trombositopeni (< 100.000 sel/ml)
·           Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih.
-            Derajat Penyakit DBD, menurut WHO tahun 1997
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat, yaitu:
·           Derajat I Demam disertai dengan gejala umum nonspesifik, satu-satunya manifestasi perdarahan ditunjukkan melalui uji tourniquet yang positif.
·           Derajat II Selain manifestasi yang dialami pasien derajat I, perdarahan spontan juga terjadi, biasanya dalam bentuk perdarahan kulit dan atau perdarahan lainnya.
·           Derajat III Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai Hepatomegali dan ditemukan gejala-gejala kegagalan sirkulasi meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit lembab dan dingin serta gelisah.
·           Derajat IV Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan ditemukan gejala syok (renjatan) yang sangat berat dengan tekanan darah dan denyut nadi yang tidak terdeteksi.
c)      Diagnosis Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang sangat  penting untuk memastikan diagnosis infeksi dengue, meliputi:
-            Pengumpulan Spesimen
Salah satu aspek yang esensial untuk diagnosis laboratorium adalah pengumpulan, pegolahan, penyimpanan, dan pengantaran spesimen. Spesimen S1 adalah sampel darah yang diambil pada stadium akut atau secepatnya setelah onset penyakit atau segera setelah masuk rumah sakit. Spesimen S2 adalah sampel darah yang diambil pada waktu penderita akan meninggalkan rumah sakit atau secepatnya sebelum meninggal. Spesimen S3 adalah sampel darah yang diambil 2-3 minggu setelah spesimen akut. Waktu antara yang paling baik untuk pengambilan spesimen akut dan kovalesen adalah 10 hari. Untuk pemeriksaan serologi pengumpulan spesimen darah dapat dilakukan dengan 2 cara:
·           Dengan menggunakan kertas saring (filter paper khusus).
Darah diteteskan pada kertas saring sampai jenuh, bolak-balik sehingga seluruh permukaan filter paper terisi  darah rata. Darah dapat dari pembuluh vena dapat pula darah dari ujung jari (ujung jari ditusuk). Kertas saring yang berisi darah dibiarkan kering pada temperatur kamar. Jangan dikeringkan dengan panas sinar matahari atau yang  lainnya. Kertas saring yang berisi darah yang telah kering disimpan dalam tempat yang kering pada suhu kamar tidak lebih dari 3 bulan. Kirimkan dalam amplop atau kantong plastik ke laboratorium secepatnya sebelum waktu 3 bulan tersebut.
·           Dengan serum
Darah diambil secara asepsis dengan menggunakan semprit. Serum dipisahkan dengan diputar 1500-2000 putaran sekitar 10-15 menit. Serum yang terpisah dipindahkan dalam botol kecil dengan menggunakan pipet Pasteur. Serum tersebut disimpan pada suhu 20 sebelum dikirim ke laboratorium.
-            Isolasi Virus
Isolasi sebagian besar strain virus dengue dari spesimen klinis dapat dilakukan pada sebagian besar kasus asalkan sampel diambil dalam beberapa hari pertama sakit dan langsung diproses tanpa penundaan. Spesimen yang mungkin sesuai untuk isolasi virus diantaranya serum fase akut dari pasien, autopsi jaringan dari kasus fatal, terutama dari hati, limpa, nodus limfe.
-            Uji Serologis
Uji hemaglutinasi inhibisi (uji HI) merupakan salah satu pemeriksaan serologi untuk penderita DBD dan telah ditetapkan oleh WHO sebagai standar pada pemeriksaan serologi penderita DBD dibandingkan pemeriksaan serologi lainnya seperti ELISA, uji komplemen fikasi, uji netralisasi, dan sebagainya. Apapun jenis uji yang dilakukan, konfirmasi serologis sudah  pasti bergantung pada kenaikan yang signifikan (4 kali lipat atau lebih) pada antibodi spesifik dalam sampel serum diantara fase akut dan fase pemulihan. Kumpulan antigen untuk sebagian besar uji serologis ini harus mencakup keempat serotipe dengue.
d)     Pengobatan Penderita DBD
Pengobatan penderita DBD pada dasarnya  bersifat simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi
-      Penatalaksanaan DBD tanpa komplikasi:
·           Istirahat total di tempat tidur.
·           Diberi minum 1,5-2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula atau air ditambah garam/oralit). Bila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut berlebihan, maka cairan inravena harus diberikan.
·           Berikan makanan lunak
·           Medikamentosa yang bersifat simptomatis. Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres, antipiretik yang bersifat asetaminofen, eukinin, atau dipiron dan jangan diberikan asetosal karena dapat menyebabkan perdarahan.
·           Antibiotik diberikan bila terdapat kemungkinan terjadi infeksi sekunder.
-      Penatalaksanaan pada pasien syok:
·           Pemasangan infus yang diberikan dengan diguyur, seperti NaCl, ringer laktat dan dipertahankan selama 12-48 jam setelah syok diatasi.
·           Observasi keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu, dan pernapasan tiap jam, serta Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) tiap 4-6 jam pada hari pertama selanjutnya tiap 24 jam.
Nilai normal Hemoglobin:
Anak-anak    : 11,5 – 12,5 gr/100 ml darah
Laki-laki dewasa  : 13 – 16 gr/100 ml darah
Wanita dewasa  : 12 – 14 gr/100 ml darah
Nilai normal Hematokrit :
Anak-anak    : 33 – 38 vol %
Laki-laki dewasa  : 40 – 48 vol %
Wanita dewasa  : 37 – 43 vol %
·           Bila pada pemeriksaan darah didapatkan penurunan kadar Hb dan Ht maka diberi transfusi darah.
e)      Penyelidikan Epidemiologi (PE)
Penyelidikan Epidemiologi adalah kegiatan pencarian penderita/tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik rumah, yang dilakukan dirumah penderita dan 20 rumah disekitarnya serta tempat-tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penularan, hasilnya dicatat dalam formulir PE dan dilaporkan kepada Kepala Puskesmas selanjutnya diteruskan kepada Lurah melalui Camat dan penanggulangan seperlunya untuk membatasi penularan. Maksud penyelidikan epidemiologi ialah untuk mengetahui ada/tidaknya kasus DBD tanbahan dan luas penyebarannya, serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit DBD lebih lanjut dilokasi tersebut. Bila pada hasil PE ditemukan penderita DBD lain atau jentik dan penderita panas tanpa sebab yang jelas lebih dari  3 orang maka akan dilakukan penyuluhan 3M plus, larvasida, fogging fokus/penanggulangan fokus, yaitu pengasapan rumah sekitar tempat tinggal penderita DBD dalam radius 200 meter, yang dilaksanakan berdasarkan hasil dari penyelidikan epidemiologi, dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu. Bila pada hasil PE tidak ditemukan kasus lain maka dilakukan penyuluhan dan  kegiatan 3M.
3)      Tersier
Pencegahan tingkat ketiga ini dimaksudkan untuk mencegah kematian akibat penyakit DBD dan melakukan rehabilitasi. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan:
a)      Transfusi Darah
Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan malena diindikasikan untuk mendapatkan transfusi darah secepatnya.
b)      Stratifikasi Daerah Rawan DBD
Adapun jenis kegiatan yang dilakukan di sesuaikan dengan stratifikasi daerah rawan seperti:
-            Endemis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir selalu ada kasus DBD. Kegiatan yang dilakukan adalah fogging Sebelum Musim Penularan (SMP), Abatisasi selektif, dan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.
-            Sporadis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus DBD. Kegiatan yang dilakukan adalah Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan 3M, penyuluhan tetap dilakukan.
-            Potensial
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir tidak ada kasus DBD. Tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi dengan wilayah lain dan persentase rumah yang ditemukan jentik >5%. Kegiatan yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.
-            Bebas
Yaitu Kecamatan, Kelurahan yang tidak pernah ada kasus DBD. Ketinggian dari permukaan air laut > 1000 meter dan persentase rumah yang ditemukan jentik  ≤ 5%. Kegiatan yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.
Upaya penanggulangan yang dilakukan yaitu dengan fokus pengobatan pada penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah mengatasi perdarahan, mencegah atau mengatasi keadaan syok, yaitu dengan mengusahakan agar penderita banyak minum sekitar 1,5 sampai 2 liter air dalam 24 jam (air teh dan gula sirup atau susu), penambahan cairan tubuh melalui infuse (intravena) mungkin diperlukan untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi yang berlebihan. Transfuse platelet dilakukan jika jumlah platelet menurun drastic, selanjutnya adalah pemberian obat-obatan terhadap keluhan yang timbul, misalnya paracetamol (membantu penurunan demam), garam elektolit (oralit) jika disertai diare dan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.
e.         Gambaran Epidemiologi
1)      Distribusi
a)      Menurut Orang
DBD dapat diderita oleh semua golongan umur, walaupun saat ini DBD lebih banyak pada anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini DBD terlihat kecenderungan  kenaikan proporsi pada kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini  mempunyai mobilitas yang tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi  yang lancar, sehingga memungkinkan untuk tertularnya virus dengue lebih besar, dan  juga karena adanya infeksi virus dengue jenis baru yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan  DEN 4  yang sebelumya belum pernah ada pada suatu daerah.
Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-95%). Namun pada wabah-wabah selanjutnya jumlah penderita yang digolongkan dalam usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia penderita DBD terbanyak pada  golongan anak berumur 5-11 tahun, proporsi penderita yang berumur lebih dari 15  tahun meningkat sejak tahun 1984.
b)      Menurut Tempat
Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat dengan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi  dengan suhu yang rendah  perkembangbiakan Aedes aegypti tidak sempurna. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan  Jakarta tahun 1968 angka kejadian sakit infeksi virus dengue meningkat dari 0,05 per 100.000 penduduk menjadi 35,19 per 100.000 penduduk tahun 1998. Sampai saat ini DBD telah ditemukan diseluruh propinsi di Indonesia. Meningkatnya kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebabkan  karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, dan  terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat  tipe virus yang menyebar sepanjang tahun.
c)      Menurut Waktu
Pola berjangkitnya infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32) derajad celcius, dengan kelembaban yang tinggi,  nyamuk  Aedes aegypti  akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat maka  pola terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di pulau Jawa pada  umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga  kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.
2)      Frekuensi
Di Indonesia KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incident Rate (IR) sebesar 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR sebesar 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%. Tahun–tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu:
a)      Tahun 1996 jumlah kasus 45.548 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 1.234 orang.
b)      Tahun 1998 jumlah kasus 72.133 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 1.414 orang (terjadi ledakan).
c)      Tahun 1999 jumlah kasus 21.134 orang.
d)     Tahun 2000 jumlah kasus 33.443 orang.
e)      Tahun 2001 jumlah kasus 45.904 orang.
f)       Tahun 2002 jumlah kasus 40.377 orang.
g)      Tahun 2003 jumlah kasus 50.131 orang.
h)      Tahun 2004 sampai tanggal 5 maret 2004 jumlah kasus sudah mencapai 26.015 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang.
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana tranformasi penduduk, adanya pemukiman baru dll.
3)      Determinan
Penularan penyakit DBD dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu, host (pejamu), agent (virus) dan lingkungan, yaitu:
a)      Host
Karakteristik host (pejamu) adalah manusia yang kemungkinan terjangkit penyakit DBD. Faktor-faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia yaitu:
-            Mobilitas penduduk akan memudahkan penularan dari suatu tempat ke tempat yang lainnya. Semakin tinggi mobilitas makin besar kemungkinan penyebaran penyakit DBD.
-            Pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara pemberantasan yang dilakukan, hal ini berkaitan dengan pengetahuan.
-            Kelompok umur akan mempengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit DBD.
b)      Agent
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang mana menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada system pembekuan darah, sehingga menyebabkan perdarahan. Penyakit ini banyak ditemukan didaerah tropis seperti Asia Tenggara, India, Brazil, Amerika termasuk di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut.
c)      Environment
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berkembangbiak dengan baik di daerah tropis pada lingkungan yang bisa dijadikan sebagai tempat berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti seperti bak air  yang tidak tertutup, barang–barang bekas yang dapat menampung air hujan seperti kaleng, wadah-wadah alat rumah tangga yang tidak terpakai lagi, ban bekas, dll.





PENYAKIT DIARE
Diare (BM = diarea; Inggris = diarrhea) adalah sebuah penyakit di mana tinja atau feses berubah menjadi lembek atau cair yang biasanya terjadi paling sedikit tiga kali dalam 24 jam.
a.         Etiologi
Diare terjadi akibat adanya rangsangan terhadap saraf otonom di dinding usus sehingga menimbulkan reflex mempercepat peristaltic usus, rangsangan ini dapat ditimbulkan oleh:
1)      Infeksi oleh bakteri pathogen, misalnya bakteri E.Colie
2)      Infeksi oleh kuman thypus (kadang-kadang) dan kolera
3)      Infeksi oleh virus, misalnya influenza perut dan ‘travellers diarre’
4)      Akibat dari penyakit cacing (cacing gelang, cacing pita)
5)      Keracunan makanan dan minuman
6)      Gangguan gizi
7)      Pengaruh enzyme tertentu
8)      Pengaruh saraf (terkejut, takut, dan lain sebagainya)
b.        Cara Penularan
1)      Penularan secara langsung: Penyakit diare dapat ditularkan dari orang satu ke orang lain secara langsung melalui fecal–oral dengan media penularan utama adalah makanan atau minuman yang terkontaminasi agen penyebab diare (Suharyono, 1991). Penderita diare berat akan mengeluarkan kuman melalui tinja, jika pembuangan tinja tidak dilakukan pada jamban tertutup, maka akan berpotensi sebagai sumber penularan.
2)      Penularan secara tidak langsung: Penyakit diare dapat juga ditularkan secara tidak langsung melalui air. Air yang tercemar kuman, bila digunakan orang untuk keperluan sehari-hari tanpa direbus atau dimasak terlebih dahulu, maka kuman akan masuk ke tubuh orang yang memakainya, sehingga orang tersebut dapat terkena diare. 
c.         Diagnosis
Diagnosa diare ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Amati konsistensi tinja dan frekuensi buang air besar bayi atau balita. Jika tinja encer dengan frekuensi buang air besar 3 kali atau lebih dalam sehari, maka bayi atau balita tersebut menderita diare. Pemeriksaan darah dapat dilakukan untuk mengetahui kadar elektrolit dan jumlah sel darah putih. Namun, untuk mengetahui organisme penyebab diare, perlu dilakukan pembiakan terhadap contoh tinja.
d.        Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
1)      Primer
Pencegahan primer penyakit diare dapat ditujukan pada faktor penyebab, lingkungan dan faktor pejamu. Untuk faktor penyebab dilakukan berbagai upaya agar mikroorganisme penyebab diare dihilangkan. Peningkatan air bersih dan sanitasi lingkungan, perbaikan lingkungan biologis dilakukan untuk memodifikasi lingkungan. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari pejamu maka dapat dilakukan peningkatan status gizi dan pemberian imunisasi.
a)      Penyediaan air bersih
Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir 70% tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan makan, minum, mandi, dan pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan tersebut WHO menetapkan kebutuhan per orang per hari untuk hidup sehat 60 liter. Selain dari peranan air sebagai kebutuhan pokok manusia, juga dapat berperan besar dalam penularan beberapa penyakit menular termasuk diare (Sanropie, 1984). Sumber air yang sering digunakan oleh masyarakat adalah air permukaan yang merupakan air sungai, dan danau. Air tanah yang tergantung kedalamannya bisa disebut air tanah dangkal atau air tanah dalam. Air angkasa yaitu air yang berasal dari atmosfir seperti hujan dan salju (Soemirat, 1996). Air dapat juga menjadi sumber penularan penyakit. Peran air dalam terjadinya penyakit menular dapat berupa, air sebagai penyebar mikroba patogen, sarang insekta penyebar penyakit, bila jumlah air bersih tidak mencukupi, sehingga orang tidak dapat membersihkan dirinya dengan baik, dan air sebagai sarang hospes sementara penyakit (Soemirat, 1996). Dengan memahami daur/siklus air di alam semesta ini, maka sumber air dapat diklasifikasikan menjadi: a) air angkasa seperti hujan dan air salju, b) air tanah seperti air sumur, mata air dan artesis, c) air permukaan yang meliputi sungai dan telaga. Untuk pemenuhan kebutuhan manusia akan air, maka dari sumber air yang ada dapat dibangun bermacam-macam saran penyediaan air bersih yang dapat berupa perpipaan, sumur gali, sumur pompa tangan, perlindungan mata air, penampungan air hujan, dan sumur artesis (Sanropie, 1984). Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil dari sumber yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber air bersih harus jauh dari kandang ternak dan kakus paling sedikit sepuluh meter dari sumber air. Air harus ditampung dalam wadah yang bersih dan pengambilan air dalam wadah dengan menggunakan gayung yang bersih, dan untuk minum air harus di masak. Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air besih (Andrianto, 1995).
b)      Tempat pembuangan tinja
Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan. Pembuangan tinja yang tidak tepat dapat berpengaruh langsung terhadap insiden penyakit tertentu yang penularannya melalui tinja antara lain penyakit diare (Haryoto, 1983). Keluarga yang tidak memiliki jamban harus membuat dan keluarga harus membuang air besar di jamban. Jamban  harus dijaga dengan mencucinya secara teratur. Jika tak ada jamban, maka anggota keluarga harus membuang air besar jauh dari rumah, jalan dan daerah anak bermain dan paling kurang sepuluh meter dari sumber air bersih (Andrianto, 1995). Untuk mencegah kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik. Suatu jamban memenuhi syarat kesehatan apabila memenuhi syarat kesehatan: tidak mengotori permukaan tanah, tidak mengotori air permukaan, tidak dapat di jangkau oleh serangga, tidak menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara, dan murah (Notoatmodjo, 1996). Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua kali lipat dibandingkan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi (Wibowo, 2003). Menurut hasil penelitian Irianto (1996), bahwa anak balita berasal dari keluarga yang menggunakan jamban (kakus) yang dilengkapi dengan tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di kota dan 7,2% di desa. Sedangkan keluarga yang menggunakan kakus tanpa tangki septik 12,1% diare terjadi di kota dan 8,9 % di desa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluaga yang mempergunakan sungai sebagi tempat pembuangan tinja, yaitu, 17,0% di kota dan 12,7% di desa.
c)      Status gizi
Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan makanan oleh tubuh (Parajanto, 1996). Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode, yang tergantung dan tingkat kekurangan gizi. Menurut Gibson (1990) metode penilaian tersebut adalah: konsumsi makanan, pemeriksaan laboratorium, pengukuran antropometri dan pemeriksaan klinis. Metode-metode ini dapat digunakan secara tunggal atau kombinasikan untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif. Makin buruk gizi seseorang anak, ternyata makin banyak episode diare yang dialami. Mortalitas bayi dinegara yang jarang terdapat malnutrisi protein energi (KEP) umumnya kecil (Canada, 28,4 permil). Pada anak dengan malnutrisi, kelenjar timusnya akan mengecil dan kekebalan sel-sel menjadi terbatas sekali sehingga kemampuan untuk mengadakan kekebalan nonspesifik terhadap kelompok organisme berkurang (Suharyono, 1986).
d)     Pemberian air susu ibu (ASI)
ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4 -6 bulan. Untuk menyusui dengan aman dan nyaman ibu jangan memberikan cairan tambahan seperti air, air gula atau susu formula terutama pada awal kehidupan anak. Memberikan ASI segera setelah bayi lahir, serta berikan ASI sesuai kebutuhan. ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare, pemberian ASI kepada bayi yang baru lahir secara penuh mempunyai  daya lindung empat kali lebih besar terhadap diare dari pada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Pada bayi yang tidak diberi ASI pada enam bulan pertama kehidupannya, risiko mendapatkan diare adalah 30 kali lebih besar dibanding dengan bayi yang tidak diberi ASI (Depkes, 2000). Bayi yang memperoleh ASI mempunyai morbiditas dan mortalitas diare lebih rendah. Bayi dengan air susu buatan (ASB) mempunyai risiko lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang selain mendapat susu tambahan juga mendapatkan ASI, dan keduanya mempunyai risiko diare lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang sepenuhnya mendapatkan ASI. Risiko relatif ini tinggi dalam bulan-bulan pertama kehidupan (Suryono, 1988).
e)      Kebiasaan mencuci tangan
Diare merupakan salah satu penyakit yang penularannya berkaitan dengan penerapan perilaku hidup sehat. Sebahagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur oral. Kuman-kuman tersebut ditularkan dengan perantara air atau bahan yang tercemar tinja yang mengandung mikroorganisme patogen dengan melalui air minum. Pada penularan seperti ini, tangan memegang peranan penting, karena lewat tangan yang tidak bersih makanan atau minuman tercemar kuman penyakit masuk ke tubuh manusia. Pemutusan rantai penularan penyakit seperti ini sangat berhubungan dengan penyediaan fasilitas yang dapat menghalangi pencemaran sumber perantara oleh tinja serta menghalangi masuknya sumber perantara tersebut kedalam tubuh melalui mulut. Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun adalah perilaku amat penting bagi upaya mencegah diare. Kebiasaan mencuci tangan diterapkan setelah buang air besar, setelah menangani tinja anak, sebelum makan atau memberi makan anak dan sebelum menyiapkan makanan. Kejadian diare makanan terutama yang berhubungan langsung dengan makanan anak seperti botol susu, cara menyimpan makanan serta tempat keluarga membuang tinja anak (Howard & Bartram, 2003). Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare dikemukakan oleh Bozkurt et al  (2003) di Turki, orang tua yang tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum merawat anak, anak mempunyai risiko lebih besar terkena diare. Heller (1998)  juga mendapatkan adanya hubungan antara kebiasaan cuci tangan ibu dengan kejadian diare pada anak di Betim-Brazil. Anak kecil juga merupakan sumber penularan penting diare. Tinja anak, terutama yang sedang menderita diare merupakan sumber penularan diare bagi penularan diare bagi orang lain. Tidak hanya anak yang sakit, anak sehatpun tinjanya juga dapat menjadi carrier asimptomatik yang sering kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu cara membuang tinja anak penting sebagai upaya mencegah terjadinya diare (Sunoto dkk, 1990). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Aulia dkk., (1994) di Sumatera Selatan, kebiasaan ibu membuang tinja anak di tempat terbuka merupakan faktor risiko yang besar terhadap kejadian diare dibandingkan dengan kebiasaan ibu membuang tinja anak di jamban.
f)       Imunisasi
Diare sering timbul menyertai penyakit campak, sehingga pemberian imunisasi campak dapat mencegah terjadinya diare. Anak harus diimunisasi terhadap penyakit campak secepat mungkin setelah usia sembilan bulan (Andrianto, 1995)
2)      Sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada si anak yang telah menderita diare atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping dan komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian oralit (rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti salah makan, bakteri, parasit, sampai radang. Pengobatan yang diberikan harus disesuaikan dengan klinis pasien. Obat diare dibagi menjadi tiga, pertama kemoterapeutika yang memberantas penyebab diare seperti bakteri atau parasit, obstipansia untuk menghilangkan gejala diare dan spasmolitik yang membantu menghilangkan kejang perut yang tidak menyenangkan. Sebaiknya jangan mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter. Dokter akan menentukan obat yang disesuaikan  dengan penyebab diarenya misal bakteri, parasit. Pemberian kemoterapeutika memiliki efek samping dan sebaiknya diminum sesuai petunjuk dokter (Fahrial Syam, 2006). 
3)      Tersier
Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita diare jangan sampai mengalami kecatatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diare diusahakan pengembalian fungsi fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyakit diare. Usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan terus mengkonsumsi makanan bergizi dan menjaga keseimbangan cairan. Rehabilitasi juga dilakukan terhadap mental penderita dengan tetap memberikan kesempatan dan ikut memberikan dukungan secara mental kepada anak. Anak yang menderita diare selain diperhatikan kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis harus dipenuhi dan kebutuhan sosial dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan dengan teman sepermainan.
Upaya penanggulangan penyakit diare antara lain yaitu:
-          Bila diare berlangsung lama misalnya 1-2 hari dan bila kencing berkurang jumlah dan frekuensinya maka bawa segera penderita ke RS karena ada kemungkinan ia terkena dehidrasi
-          Mengobati dehidrasi. Bila terjadi dehidrasi (terutama pada anak) penderita harus segera dibawa ke petugas kesehatan atau sarana kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang cepat dan tepat yaitu dengan oralit, jika terjadi dehidrasi berat penderita harus diberikan cairan intra vena (infus) dengan linger laktat sebelum dilanjutkan terapi oral.
-          Hindari makanan padat.
-          Mengobati masalah lain. Apabila ditemukan penderita diare yang disertai dengan penyakit lain maka diberikan pengobatan sesuai dengan indikasi dengan tetap mengutamakan dehidrasi.
e.         Gambaran Epidemiologi
1)      Distribusi dan Frekuensi
a)      Menurut Orang
Penyakit diare akut lebih sering terjadi pada bayi daripada anak yang lebih besar. Kejadian diare akut pada anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan. Hasil survei Program Pemberantasan (P2) Diare di Indonesia menyebutkan bahwa angka kesakitan diare di Indonesia pada tahun 2000 sebesar 301 per 1.000 penduduk dengan episode diare balita adalah 1,0–1,5 kali per tahun. Survei Departemen Kesehatan tahun 2003 penyakit diare menjadi penyebab kematian nomor dua pada balita, nomor tiga pada bayi, dan nomor lima pada semua umur. Kejadian diare pada golongan balita secara proporsional lebih banyak dibandingkan kejadian diare pada seluruh golongan umur yakni sebesar 55%. Berdasarkan Survei Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM-PL)  jumlah kasus diare pada tahun 2005 di Sulawesi Selatan berdasarkan umur yang paling tinggi terjadi pada usia >5 tahun yaitu sebesar 100.347 kasus sedangkan kematian yang paling banyak terjadi berada pada usia <1 tahun yakni sebanyak 25 kematian. Perbedaan sifat keadaan karakteristik personal/individu secara tidak langsung dapat memberikan perbedaan pada sifat/keadaan keterpaparan faktor resiko penyakit diare maupun derajat resiko penyakit diare serta reaksi individu terhadap setiap keadaan keterpaparan, sangat berbeda dan dipengaruhi oleh berbagai sifat karakteristik tertentu. Sifat karateristik itu antara lain: umur, jenis kelamin, kelas sosial, jenis pekerjaan, penghasilan, golongan etnik, status perkawinan, besarnya keluarga, struktur keluarga, dan paritas. Hasil penelitian Zulkifli (2003) dengan desain cross sectional  di Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie  menunjukkan  bahwa diare terbanyak pada anak balita dengan kelompok umur < 24 bulan.
b)      Menurut Tempat
Penyakit diare tidak hanya terdapat di negara-negara berkembang atau terbelakang saja, akan tetapi juga dijumpai di negara industri bahkan di negara yang sudah maju sekalipun, hanya saja di negara maju keadaan penyakit diare infeksinya jauh lebih kecil. Berdasarkan Ditjen  PPM & PL  tahun 2005 bahwa KLB diare yang paling tinggi yang paling besar terjadi pada daerah NTT dengan jumlah penderita 2.194 orang  dengan CFR sebesar 1,28%  diikuti oleh Kota Banten dengan jumlah penderita 1.371 orang dan CFR 1,9%. Hal ini disebabkan tingkat sanitasi masyarakat yang masih rendah, dimana pada daerah NTT tersebut terjadi kekurangan air, sehingga aktivitas mereka terbatasi dengan minimnya persediaan air. Pada tahun 2004, di Indonesia diare merupakan penyakit dengan frekuensi KLB kelima setelah DBD, Campak, Tetanus Neonatorum dan keracunan makanan. Angka kesakitan diare di Kalimantan Tengah dari tahun 2000-2004 fluktuatif dari 15,87 sampai 23,45. Pada tahun 2005 kasus diare 37,53% terjadi pada  balita. Berbagai penelitian tetang diare telah dilakukan di berbagai tempat. Hasil penelitian Kasman di  Puskesmas Air Dingin Kecamatan Koto Tangah Kota Padang Sumatera Barat (2003) dengan desain cross sectional didapatkan  proporsi diare pada anak balita sebesar 69,1%.
c)      Menurut Waktu
Masih seringnya terjadi wabah atau Kejadian Luar Biasa (KLB) diare menyebabkan pemberantasannya menjadi suatu hal yang sangat penting. Di Indonesia, KLB diare masih terus terjadi hampir di setiap musim sepanjang tahun. Angka kesakitan diare tahun 2000 berdasarkan Survei Ditjen PPM-PL adalah 301 per 1.000 penduduk dan episode pada balita 1,3 kali per tahun. Pada tahun 2003 angka kesakitan diare meningkat menjadi 374 per 1.000 penduduk dan episode pada balita 1,08 kali per tahun. Cakupan penderita diare yang dilayani dan dilaporkan selama lima tahun terakhir cenderung menurun.  Sementara itu jumlah penderita diare yang dapat dihimpun dalam lima tahun terakhir ditemukan bahwa jumlah penderita yang dilaporkan paling tinggi yakni pada tahun 2000 sebesar 4.771.340 penderita, sedangkan jumlah penderita yang dilaporkan paling rendah yakni pada tahun 2004 sebesar 596.050 penderita.
2)      Determinan
a)      Host (Penjamu)
-            Umur
Survei Departemen Kesehatan tahun 2003 penyakit diare menjadi penyebab kematian nomor dua pada balita, nomor tiga pada bayi, dan nomor lima pada semua umur. Hasil penelitian Zulkifli (2003) dengan desain cross sectional di Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie  menunjukkan  bahwa diare terbanyak pada anak balita dengan kelompok umur < 24 bulan.
-            Jenis Kelamin
Penyakit diare akut lebih sering terjadi pada bayi daripada anak yang lebih besar. Kejadian diare akut pada anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan. Penelitian Efrida Yanthi (2001)  di  Kecamatan Padang Bolak Julu Kabupaten Tapanuli Selatan dengan desain cross sectional menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara jenis kelamin anak balita dengan kejadian diare dengan nilai p =0,997.
-            Status Gizi
Penderita gizi buruk akan mengalami penurunan produksi antibodi serta terjadinya atropi pada dinding usus yang menyebabkan berkurangnya sekresi berbagai enzim sehingga memudahkan masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh terutama penyakit diare. Hasil  penelitian  Elmi Haryuni (2005) dengan desain case control di wilayah kerja Puskesmas Bandar Khalifah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang   menunjukkan  terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi balita dengan kejadian diare deng an nilai p=0,000, OR=3,5. Hasil  penelitian  Zulkifli (2003) dengan desain cross sectional  di Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie  menunjukkan  bahwa diare terbanyak pada anak balita dengan kelompok umur < 24 bulan.
-            Status imunisasi
Diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare. Untuk itu anak harus segera diberi imunisasi campak  ketika  berumur 9 bulan sampai anak berusia 1 tahun. Hasil penelitian Efrida Yanthi (tahun 2001) di Kecamatan Padang Bolak Julu Kabupaten Tapanuli Selatan, yang melakukan analisis faktor resiko terhadap kejadian diare yang menggunakan desain penelitian cross sectional menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian diare dengan nilai  p=0,000 (p<0,05). Ini berarti balita yang tidak imunisasi memiliki kemungkinan lebih besar untuk menderita diare.
-            ASI Eksklusif
Pemberian makanan berupa ASI sampai bayi mencapai usia 4-6 bulan, akan memberikan kekebalan kepada bayi terhadap berbagai macam penyakit karena ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit. Oleh karena itu, dengan adanya zat anti infeksi dari ASI, maka bayi ASI eksklusif akan terlindungi dari berbagai macam infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit.  Hasil penelitian Dina Kamalia (2005) tentang hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada bayi usia 1-6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Kedungwuni I yang menggunakan desain cross sectional, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian diare dimana nilai p=0,003 (p<0,005)
b)      Agent
Beberapa penyebab diare dapat dibagi menjadi:
-            Peradangan usus oleh:
·           Bakteri, seperti: Escheria coli, Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, B, C, Shigella flexneri, Vibrio cholera, Vibrio eltor, Vibrio parahemolytius, Clostridium perferingens, Campilobacter, Staphilococcus, Streptococcus, Coccidiosis.
·           Parasit, seperti: Protozoa (Entamoeba histolyca, Giardia lambia, Trichomonashominis isospora), cacing (Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Trichuris tricura, Vermiccularis, Taenia saginata, Taenia solium), jamur (Candida).
·           Virus, seperti:  Rotavirus, Farvovirus, Adenovirus, Norwalk.
-            Makanan, yaitu:
·           Sindroma malaborsi: malabsorpsi karbohidrat, lemak dan protein.
·           Keracunan makanan dan minuman yang disebabkan bakteri (Clostridium bottulinus, Staphilococcus) atau bahan kimia.
·           Alergi, misalnya tidak tahan pada makanan tertentu seperti susu kaleng atau susu sapi.
·           Kekurangan energi protein (KEP).
-            Immunodefisiensi terutama SIg A (secretory immunoglobulin A) yang mengakibatkan berlipat ganda nya bakteri/flora usus dan jamur terutama Candida. Psikologis: rasa takut  dan cemas. Walaupun jarang, dapat menimbulkan diare terutama pada anak yang lebih besar.
c)      Environment (Lingkungan)
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare.
-            Ketersediaan Jamban
Penelitian Dewi Ratnawati dkk (tahun 2006) di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta dengan desain penelitian  case control, menunjukkan bahwa penggunaan jamban yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko 2,550 kali lebih besar balitanya untuk terkena diare akut dibandingkan dengan penggunaan jamban yang memenuhi syarat dan secara statistik bermakna.
-            Penyediaan Air Bersih
Penelitian Dewi Ratnawati dkk (tahun 2006) di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta dengan desain penelitian case control, menunjukkan bahwa penggunaan sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko 1,310 kali lebih besar balitanya untuk terkena diare akut dibandingkan dengan penggunaan sarana air bersih yang memenuhi syarat namun secara statistik tidak bermakna. 
-            Sanitasi Lingkungan
Rendahnya mutu sanitasi lingkungan merupakan keadaan yang potensial untuk menjadi sumber penularan penyakit diare. Hasil penelitian Efrida Yanthi (tahun 2001) yang melakukan analisis hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian diare yang menggunakan desain penelitian  cross sectional menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara sanitasi lingkungan dengan kejadian diare dengan nilai p=0,000(p<0,05).

3 komentar:

  1. terimakasih untuk informasinya, sebenarnya klo dibiarkan tanpa di obati, penyakit apapun bisa menjadi berbahaya,

    http://herbalkuacemaxs.com/pengobatan-herbal-diare/

    BalasHapus