PENYAKIT
MENULAR
(ETIOLOGI,
PENULARAN, DIAGNOSIS, PENCEGAHAN, PENANGGULANGAN, GAMBARAN EPIDEMIOLOGI)
PENYAKIT DBD
Demam berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut
yang disebabkan oleh virus dengue, yang masuk ke peredaran darah manusia
melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes, misalnya Aedes aegypti
atau Aedes albopictus.
a.
Etiologi
Penyebab utama penyakit
demam berdarah adalah virus dengue, yang merupakan virus dari famili Flaviviridae. Terdapat 4 jenis virus dengue yang diketahui
dapat menyebabkan penyakit demam berdarah. Keempat virus tersebut adalah DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
b.
Cara
Penularan
Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes tersebut dapat
mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami
viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam
waktu 8-10 hari sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada di dalam
tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya. Di
tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari Period sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi
bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari
sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
c.
Diagnosis
Penyakit demam berdarah
didiagnosis dengan melihat gejala yang muncul, seperti demam tinggi dan
munculnya ruam. Namun, karena gejala penyakit demam berdarah kadangkala sulit
dibedakan dengan penyakit malaria, leptospirosis, maupun demam tifoid maka
biasanya pekerja medis atau dokter akan terlebih dahulu mengecek sejarah
kesehatan dan perjalanan pasien untuk mencari informasi kemungkinan pasien
tergigit nyamuk. Selain itu untuk mendapatkan ketepatan diagnosis yang lebih
tinggi umumnya dilakukan berbagai uji laboratorium. Beberapa tes yang biasanya
dilakukan adalah studi serologi untuk mengetahui ada tidaknya antibodi terhadap
virus dengue di tubuh pasien, menghitung titer antibodi terhadap virus dengue,
dan penghitungan sel darah lengkap (sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit). Selain itu, uji laboratorium lain yang dapat dilakukan adalah uji
inhibisi hemaglutinasi, uji ELISA, dan reaksi berantai polimerase reverse
transcriptase untuk mendeteksi antigen, antibodi, atau asam nukleat spesifik
terhadap virus dengue. Uji-uji tersebut dapat memakan waktu beberapa hari.
d.
Upaya
Pencegahan dan Penanggulangan
1) Primer
Pencegahan tingkat
pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap
sehat atau me ncegah orang yang sehat menjadi sakit.
a) Surveilans
Vektor
Surveilans untuk
nyamuk Aedes aegypti sangat penting
untuk menentukan distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor
resiko berdasarkan waktu dan tempat yang berkaitan dengan penyebaran dengue,
dan tingkat kerentanan atau kekebalan insektisida yang di pakai, untuk
memprioritaskan wilayah dan musim untuk
pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan penggunaan
sebagian besar peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk memantau
keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah survei jentik.
Survei jentik dilakukan
dengan cara melihat atau memeriksa semua tempat atau bejana yang dapat menjadi
tempat berkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypti dengan mata telanjang untuk mengetahui
ada tidaknya jentik,yaitu dengan cara visual. Cara ini cukup dilakukan
dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap tempat genangan air tanpa mengambil
jentiknya.
b) Pengendalian
Vektor
Pengendalian vektor
adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti. Secara
garis besar ada 3 cara pengendalian vektor yaitu:
-
Pengendalian Cara Kimiawi
Pada pengendalian
kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada nyamuk dewasa atau larva.
Insektisida yang dapat digunakan adalah dari golongan organoklorin,
organofosfor, karbamat, dan pyrethoid. Bahan-bahan insektisida dapat
diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray) terhadap rumah-rumah penduduk.
Insektisida yang dapat digunakan terhadap larva Aedes aegypti yaitu dari
golongan organofosfor (Temephos) dalam bentuk sand granules yang larut dalam
air di tempat perindukan nyamuk atau sering disebut dengan abatisasi.
-
Pengendalian Hayati/Biologik
Pengendalian hayati
atau sering disebut dengan pengendalian biologis dilakukan dengan menggunakan
kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme hewan invertebrate atau
vertebrata. Sebagai pengendalian hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit
dan pemangsa. Beberapa jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus
(Gambusia affinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa
jenis golongan cacing nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan Romanomarmis
culiforax merupakan parasit yang cocok untuk larva nyamuk.
-
Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan
dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan mencegah nyamuk kontak dengan
manusia yaitu memasang kawat kasa pada pintu, lubang jendela, dan
ventilasi di seluruh bagian rumah.
Hindari menggantung pakaian di kamar mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang
tidak terjangkau sinar matahari.
c) Surveilans
Kasus
Surveilans kasus DBD
dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun pasif. Di beberapa negara pada
umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun sistem surveilans pasif tidak
sensitif dan memiliki spesifisitas yang rendah, namun sistem ini berguna untuk
memantau kecenderungan penyebaran dengue jangka panjang. Pada surveilans pasif
setiap unit pelayanan kesehatan (rumah sakit, Puskesmas, poliklinik, balai
pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan melaporkan setiap penderita
termasuk tersangka DBD ke dinas
kesehatan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Surveilans aktif adalah yang
bertujuan memantau penyebaran dengue di dalam masyarakat sehingga mampu
mengatakan kejadian, dimana berlangsung penyebaran kelompok serotipe virus
yang bersirkulasi, untuk mencapai tujuan tersebut sistem ini harus
mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik. Surveilans seperti ini
pasti dapat memberikan peringatan dini atau memiliki
kemampuan prediktif
terhadap penyebaran epidemi penyakit DBD.
d) Gerakan
Pemberantasan Sarang Nyamuk
Gerakan PSN adalah
keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah untuk
mencegah penyakit DBD yang disertai pemantauan hasil-hasilnya secara terus
menerus. Gerakan PSN DBD merupakan bagian terpenting dari keseluruhan upaya
pemberantasan penyakit DBD, dan merupakan bagian dari upaya mewujudkan
kebersihan lingkungan serta prilaku sehat dalam rangka mencapai masyarakat dan
keluarga sejahtera. Dalam membasmi jentik nyamuk penularan DBD dengan cara yang
dikenal dengan istilah 3M, yaitu:
-
Menguras bak mandi, bak penampungan air,
tempat minum hewan peliharaan minimal sekali dalam seminggu.
-
Menutup rapat tempat penampungan air
sedemikian rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa.
-
Mengubur barang-barang bekas yang sudah
tidak terpakai, yang semuanya dapat menampung air hujan sebagai tempat
berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti.
2) Sekunder
Pada pencegahan
sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a) Penemuan,
Pertolongan dan Pelaporan Penderita
Penemuan, pertolongan,
dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan
oleh petugas kesehatan dan masyarakat dengan cara:
-
Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan
gejala penyakit DBD, berikan pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat penurun panas
yang tidak mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau unit
pelayanan kesehatan.
-
Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan
pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan segera melaporkan penemuan penderita atau
tersangka DBD tersebut kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima
laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit
dilokasi penderita dan rumah disekitarnya
untuk mencegah kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.
-
Kepala Puskesmas melaporkan hasil
penyelidikan epidemiologi dan kejadian luar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas
Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara penanggulangan seperlunya.
b) Diagnosis
Diagnosis DBD
ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 terdiri dari
kriteria klinis dan laboratorium.
-
Kriteria Klinis
·
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang
jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.
·
Terdapat manifestasi perdarahan ditandai
dengan: uji tourniquet positif, petechie, echymosis, purpura, perdarahan mukosa,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan malena. Uji tourniquet dilakukan
dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah. Selanjutnya diberikan tekanan
di antara sistolik dan diastolik pada
alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku; tekanan ini diusahakan
menetap selama percobaan. Setelah
dilakukan tekanan selama 5 menit, diperhatikan timbulnya petekia pada
kulit di lengan bawah bagian medial pada sepertiga bagian proksimal. Uji
dinyatakan positif apabila pada 1 inchi persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebih
dari 20 petekia.
·
Pembesaran hati (hepatomegali).
·
Syok (renjatan), ditandai nadi cepat dan
lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit
lembab, dan gelisah.
-
Kriteria Laboratorium
·
Trombositopeni (< 100.000 sel/ml)
·
Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari
peningkatan hematokrit 20% atau lebih.
-
Derajat Penyakit DBD, menurut WHO tahun
1997
Derajat penyakit DBD
diklasifikasikan dalam 4 derajat, yaitu:
·
Derajat I Demam disertai dengan gejala
umum nonspesifik, satu-satunya manifestasi perdarahan ditunjukkan melalui uji
tourniquet yang positif.
·
Derajat II Selain manifestasi yang
dialami pasien derajat I, perdarahan spontan juga terjadi, biasanya dalam
bentuk perdarahan kulit dan atau perdarahan lainnya.
·
Derajat III Demam, perdarahan spontan,
disertai atau tidak disertai Hepatomegali dan ditemukan gejala-gejala kegagalan
sirkulasi meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20
mmHg) atau hipotensi disertai kulit lembab dan dingin serta gelisah.
·
Derajat IV Demam, perdarahan spontan,
disertai atau tidak disertai hepatomegali dan ditemukan gejala syok (renjatan)
yang sangat berat dengan tekanan darah dan denyut nadi yang tidak terdeteksi.
c) Diagnosis
Laboratorium
Pemeriksaan
laboratorium yang sangat penting untuk
memastikan diagnosis infeksi dengue, meliputi:
-
Pengumpulan Spesimen
Salah satu aspek yang
esensial untuk diagnosis laboratorium adalah pengumpulan, pegolahan,
penyimpanan, dan pengantaran spesimen. Spesimen S1 adalah sampel darah yang
diambil pada stadium akut atau secepatnya setelah onset penyakit atau segera
setelah masuk rumah sakit. Spesimen S2 adalah sampel darah yang diambil pada
waktu penderita akan meninggalkan rumah sakit atau secepatnya sebelum
meninggal. Spesimen S3 adalah sampel darah yang diambil 2-3 minggu setelah
spesimen akut. Waktu antara yang paling baik untuk pengambilan spesimen akut
dan kovalesen adalah 10 hari. Untuk pemeriksaan serologi pengumpulan spesimen
darah dapat dilakukan dengan 2 cara:
·
Dengan menggunakan kertas saring (filter
paper khusus).
Darah diteteskan pada
kertas saring sampai jenuh, bolak-balik sehingga seluruh permukaan filter paper
terisi darah rata. Darah dapat dari
pembuluh vena dapat pula darah dari ujung jari (ujung jari ditusuk). Kertas
saring yang berisi darah dibiarkan kering pada temperatur kamar. Jangan
dikeringkan dengan panas sinar matahari atau yang lainnya. Kertas saring yang berisi darah yang
telah kering disimpan dalam tempat yang kering pada suhu kamar tidak lebih dari
3 bulan. Kirimkan dalam amplop atau kantong plastik ke laboratorium secepatnya
sebelum waktu 3 bulan tersebut.
·
Dengan serum
Darah diambil secara
asepsis dengan menggunakan semprit. Serum dipisahkan dengan diputar 1500-2000
putaran sekitar 10-15 menit. Serum yang terpisah dipindahkan dalam botol kecil
dengan menggunakan pipet Pasteur. Serum tersebut disimpan pada suhu 20 sebelum dikirim ke
laboratorium.
-
Isolasi Virus
Isolasi sebagian besar
strain virus dengue dari spesimen klinis dapat dilakukan pada sebagian besar
kasus asalkan sampel diambil dalam beberapa hari pertama sakit dan langsung
diproses tanpa penundaan. Spesimen yang mungkin sesuai untuk isolasi virus diantaranya
serum fase akut dari pasien, autopsi jaringan dari kasus fatal, terutama dari
hati, limpa, nodus limfe.
-
Uji Serologis
Uji hemaglutinasi
inhibisi (uji HI) merupakan salah satu pemeriksaan serologi untuk penderita DBD
dan telah ditetapkan oleh WHO sebagai standar pada pemeriksaan serologi
penderita DBD dibandingkan pemeriksaan serologi lainnya seperti ELISA, uji
komplemen fikasi, uji netralisasi, dan sebagainya. Apapun jenis uji yang
dilakukan, konfirmasi serologis sudah
pasti bergantung pada kenaikan yang signifikan (4 kali lipat atau lebih)
pada antibodi spesifik dalam sampel serum diantara fase akut dan fase
pemulihan. Kumpulan antigen untuk sebagian besar uji serologis ini harus
mencakup keempat serotipe dengue.
d) Pengobatan
Penderita DBD
Pengobatan penderita
DBD pada dasarnya bersifat simptomatik
dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi
- Penatalaksanaan DBD tanpa komplikasi:
·
Istirahat total di tempat tidur.
·
Diberi minum 1,5-2 liter dalam 24 jam
(susu, air dengan gula atau air ditambah garam/oralit). Bila cairan oral tidak
dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut
berlebihan, maka cairan inravena harus diberikan.
·
Berikan makanan lunak
·
Medikamentosa yang bersifat simptomatis.
Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres, antipiretik yang bersifat
asetaminofen, eukinin, atau dipiron dan jangan diberikan asetosal karena dapat
menyebabkan perdarahan.
·
Antibiotik diberikan bila terdapat
kemungkinan terjadi infeksi sekunder.
- Penatalaksanaan pada pasien syok:
·
Pemasangan infus yang diberikan dengan
diguyur, seperti NaCl, ringer laktat dan dipertahankan selama 12-48 jam setelah
syok diatasi.
·
Observasi keadaan umum, nadi, tekanan
darah, suhu, dan pernapasan tiap jam, serta Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht)
tiap 4-6 jam pada hari pertama selanjutnya tiap 24 jam.
Nilai normal
Hemoglobin:
Anak-anak : 11,5 – 12,5 gr/100 ml darah
Laki-laki dewasa : 13 – 16 gr/100 ml darah
Wanita dewasa : 12 – 14 gr/100 ml darah
Nilai normal Hematokrit
:
Anak-anak : 33
– 38 vol %
Laki-laki dewasa : 40 – 48 vol %
Wanita dewasa : 37 – 43 vol %
·
Bila pada pemeriksaan darah didapatkan
penurunan kadar Hb dan Ht maka diberi transfusi darah.
e) Penyelidikan
Epidemiologi (PE)
Penyelidikan
Epidemiologi adalah kegiatan pencarian penderita/tersangka DBD lainnya dan
pemeriksaan jentik rumah, yang dilakukan dirumah penderita dan 20 rumah
disekitarnya serta tempat-tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber
penularan, hasilnya dicatat dalam formulir PE dan dilaporkan kepada Kepala
Puskesmas selanjutnya diteruskan kepada Lurah melalui Camat dan penanggulangan
seperlunya untuk membatasi penularan. Maksud penyelidikan epidemiologi ialah
untuk mengetahui ada/tidaknya kasus DBD tanbahan dan luas penyebarannya, serta
untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit DBD lebih lanjut
dilokasi tersebut. Bila pada hasil PE ditemukan penderita DBD lain atau jentik
dan penderita panas tanpa sebab yang jelas lebih dari 3 orang maka akan dilakukan penyuluhan 3M plus,
larvasida, fogging fokus/penanggulangan fokus, yaitu pengasapan rumah sekitar
tempat tinggal penderita DBD dalam radius 200 meter, yang dilaksanakan
berdasarkan hasil dari penyelidikan epidemiologi, dilakukan 2 siklus dengan
interval 1 minggu. Bila pada hasil PE tidak ditemukan kasus lain maka dilakukan
penyuluhan dan kegiatan 3M.
3) Tersier
Pencegahan tingkat
ketiga ini dimaksudkan untuk mencegah kematian akibat penyakit DBD dan
melakukan rehabilitasi. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan:
a) Transfusi
Darah
Penderita yang
menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan malena diindikasikan
untuk mendapatkan transfusi darah secepatnya.
b) Stratifikasi
Daerah Rawan DBD
Adapun jenis kegiatan
yang dilakukan di sesuaikan dengan stratifikasi daerah rawan seperti:
-
Endemis
Yaitu Kecamatan,
Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir selalu ada kasus DBD. Kegiatan yang
dilakukan adalah fogging Sebelum Musim Penularan (SMP), Abatisasi selektif, dan
penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.
-
Sporadis
Yaitu Kecamatan,
Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus DBD. Kegiatan yang dilakukan
adalah Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan
3M, penyuluhan tetap dilakukan.
-
Potensial
Yaitu Kecamatan,
Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir tidak ada kasus DBD. Tetapi penduduknya
padat, mempunyai hubungan transportasi dengan wilayah lain dan persentase rumah
yang ditemukan jentik >5%. Kegiatan yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan
penyuluhan.
-
Bebas
Yaitu Kecamatan,
Kelurahan yang tidak pernah ada kasus DBD. Ketinggian dari permukaan air laut
> 1000 meter dan persentase rumah yang ditemukan jentik ≤ 5%. Kegiatan yang dilakukan adalah PJB,
PSN, 3M dan penyuluhan.
Upaya penanggulangan yang dilakukan
yaitu dengan fokus pengobatan pada penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah
mengatasi perdarahan, mencegah atau mengatasi keadaan syok, yaitu dengan
mengusahakan agar penderita banyak minum sekitar 1,5 sampai 2 liter air dalam
24 jam (air teh dan gula sirup atau susu), penambahan cairan tubuh melalui
infuse (intravena) mungkin diperlukan untuk mencegah dehidrasi dan
hemokonsentrasi yang berlebihan. Transfuse platelet dilakukan jika jumlah
platelet menurun drastic, selanjutnya adalah pemberian obat-obatan terhadap
keluhan yang timbul, misalnya paracetamol (membantu penurunan demam), garam
elektolit (oralit) jika disertai diare dan antibiotik untuk mencegah infeksi
sekunder.
e.
Gambaran
Epidemiologi
1) Distribusi
a) Menurut
Orang
DBD dapat diderita oleh semua
golongan umur, walaupun saat ini DBD lebih banyak pada anak-anak, tetapi dalam
dekade terakhir ini DBD terlihat kecenderungan kenaikan proporsi pada
kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini mempunyai mobilitas yang
tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi yang lancar, sehingga
memungkinkan untuk tertularnya virus dengue lebih besar, dan juga karena
adanya infeksi virus dengue jenis baru yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN
4 yang sebelumya belum pernah ada pada suatu daerah.
Pada awal terjadinya wabah di suatu
negara, distribusi umur memperlihatkan jumlah penderita terbanyak dari golongan
anak berumur kurang dari 15 tahun (86-95%). Namun pada wabah-wabah selanjutnya
jumlah penderita yang digolongkan dalam usia dewasa muda meningkat. Di
Indonesia penderita DBD terbanyak pada golongan anak berumur 5-11 tahun,
proporsi penderita yang berumur lebih dari 15 tahun meningkat sejak tahun
1984.
b) Menurut
Tempat
Penyakit DBD dapat menyebar pada
semua tempat kecuali tempat-tempat dengan ketinggian 1000 meter dari permukaan
laut karena pada tempat yang tinggi dengan suhu yang rendah
perkembangbiakan Aedes aegypti tidak sempurna. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak
ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 angka kejadian
sakit infeksi virus dengue meningkat dari 0,05 per 100.000 penduduk menjadi
35,19 per 100.000 penduduk tahun 1998. Sampai saat ini DBD telah ditemukan
diseluruh propinsi di Indonesia. Meningkatnya kasus serta bertambahnya wilayah
yang terjangkit disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi
penduduk, adanya pemukiman baru, dan terdapatnya vektor nyamuk hampir di
seluruh pelosok tanah air serta adanya empat tipe virus yang menyebar
sepanjang tahun.
c) Menurut
Waktu
Pola berjangkitnya infeksi virus
dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas
(28-32) derajad celcius, dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk
Aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di
Indonesia karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat maka
pola terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di pulau Jawa
pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat
terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei
setiap tahun.
2) Frekuensi
Di Indonesia KLB DBD terbesar
terjadi pada tahun 1998, dengan Incident Rate (IR) sebesar 35,19 per 100.000
penduduk dan CFR sebesar 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%.
Tahun–tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu:
a) Tahun 1996
jumlah kasus 45.548 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 1.234 orang.
b) Tahun 1998
jumlah kasus 72.133 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 1.414 orang (terjadi
ledakan).
c) Tahun 1999
jumlah kasus 21.134 orang.
d) Tahun 2000
jumlah kasus 33.443 orang.
e) Tahun 2001
jumlah kasus 45.904 orang.
f) Tahun 2002
jumlah kasus 40.377 orang.
g) Tahun 2003
jumlah kasus 50.131 orang.
h) Tahun 2004
sampai tanggal 5 maret 2004 jumlah kasus sudah mencapai 26.015 orang, dengan
jumlah kematian sebanyak 389 orang.
Meningkatnya
jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit, disebabkan karena
semakin baiknya sarana tranformasi penduduk, adanya pemukiman baru dll.
3)
Determinan
Penularan penyakit DBD dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu, host (pejamu), agent (virus) dan lingkungan,
yaitu:
a)
Host
Karakteristik host (pejamu) adalah
manusia yang kemungkinan terjangkit penyakit DBD. Faktor-faktor yang terkait
dalam penularan DBD pada manusia yaitu:
-
Mobilitas penduduk akan memudahkan penularan dari
suatu tempat ke tempat yang lainnya. Semakin tinggi mobilitas makin besar
kemungkinan penyebaran penyakit DBD.
-
Pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam
penerimaan penyuluhan dan cara pemberantasan yang dilakukan, hal ini berkaitan
dengan pengetahuan.
-
Kelompok umur akan mempengaruhi peluang terjadinya penularan
penyakit DBD.
b)
Agent
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus, yang mana menyebabkan gangguan pada pembuluh
darah kapiler dan pada system pembekuan darah, sehingga menyebabkan perdarahan.
Penyakit ini banyak ditemukan didaerah tropis seperti Asia Tenggara, India,
Brazil, Amerika termasuk di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat
ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut.
c)
Environment
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berkembangbiak
dengan baik di daerah tropis pada lingkungan yang bisa dijadikan sebagai tempat
berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti seperti bak air yang tidak
tertutup, barang–barang bekas yang dapat menampung air hujan seperti kaleng,
wadah-wadah alat rumah tangga yang tidak terpakai lagi, ban bekas, dll.
PENYAKIT DIARE
Diare (BM = diarea; Inggris = diarrhea) adalah sebuah
penyakit di mana tinja atau feses berubah menjadi lembek atau
cair yang biasanya terjadi paling sedikit tiga kali dalam 24 jam.
a.
Etiologi
Diare terjadi akibat adanya
rangsangan terhadap saraf otonom di dinding usus sehingga menimbulkan reflex
mempercepat peristaltic usus, rangsangan ini dapat ditimbulkan oleh:
1)
Infeksi oleh bakteri pathogen, misalnya bakteri E.Colie
2)
Infeksi oleh kuman thypus (kadang-kadang) dan kolera
3)
Infeksi oleh virus, misalnya influenza perut dan
‘travellers diarre’
4)
Akibat dari penyakit cacing (cacing gelang, cacing
pita)
5)
Keracunan makanan dan minuman
6)
Gangguan gizi
7)
Pengaruh enzyme tertentu
8)
Pengaruh saraf (terkejut, takut, dan lain sebagainya)
b.
Cara
Penularan
1) Penularan secara langsung:
Penyakit diare dapat ditularkan dari orang satu ke orang lain secara langsung
melalui fecal–oral dengan media penularan utama adalah makanan atau minuman
yang terkontaminasi agen penyebab diare (Suharyono, 1991). Penderita diare
berat akan mengeluarkan kuman melalui tinja, jika pembuangan tinja tidak
dilakukan pada jamban tertutup, maka akan berpotensi sebagai sumber penularan.
2) Penularan secara tidak langsung:
Penyakit diare dapat juga ditularkan secara tidak langsung melalui air. Air
yang tercemar kuman, bila digunakan orang untuk keperluan sehari-hari tanpa
direbus atau dimasak terlebih dahulu, maka kuman akan masuk ke tubuh orang yang
memakainya, sehingga orang tersebut dapat terkena diare.
c.
Diagnosis
Diagnosa diare
ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Amati konsistensi
tinja dan frekuensi buang air besar bayi atau balita. Jika tinja encer dengan
frekuensi buang air besar 3 kali atau lebih dalam sehari, maka bayi atau balita
tersebut menderita diare. Pemeriksaan darah dapat dilakukan untuk mengetahui
kadar elektrolit dan jumlah sel darah putih. Namun, untuk mengetahui organisme
penyebab diare, perlu dilakukan pembiakan terhadap contoh tinja.
d.
Upaya
Pencegahan dan Penanggulangan
1) Primer
Pencegahan primer
penyakit diare dapat ditujukan pada faktor penyebab, lingkungan dan faktor
pejamu. Untuk faktor penyebab dilakukan berbagai upaya agar mikroorganisme
penyebab diare dihilangkan. Peningkatan air bersih dan sanitasi lingkungan, perbaikan
lingkungan biologis dilakukan untuk memodifikasi lingkungan. Untuk meningkatkan
daya tahan tubuh dari pejamu maka dapat dilakukan peningkatan status gizi dan
pemberian imunisasi.
a) Penyediaan
air bersih
Air adalah salah satu
kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir 70% tubuh manusia mengandung air.
Air dipakai untuk keperluan makan, minum, mandi, dan pemenuhan kebutuhan yang
lain, maka untuk keperluan tersebut WHO menetapkan kebutuhan per orang per hari
untuk hidup sehat 60 liter. Selain dari peranan air sebagai kebutuhan pokok
manusia, juga dapat berperan besar dalam penularan beberapa penyakit menular
termasuk diare (Sanropie, 1984). Sumber air yang sering digunakan oleh
masyarakat adalah air permukaan yang merupakan air sungai, dan danau. Air tanah
yang tergantung kedalamannya bisa disebut air tanah dangkal atau air tanah
dalam. Air angkasa yaitu air yang berasal dari atmosfir seperti hujan dan salju
(Soemirat, 1996). Air dapat juga menjadi sumber penularan penyakit. Peran air
dalam terjadinya penyakit menular dapat berupa, air sebagai penyebar mikroba patogen,
sarang insekta penyebar penyakit, bila jumlah air bersih tidak mencukupi,
sehingga orang tidak dapat membersihkan dirinya dengan baik, dan air sebagai
sarang hospes sementara penyakit (Soemirat, 1996). Dengan memahami daur/siklus
air di alam semesta ini, maka sumber air dapat diklasifikasikan menjadi: a) air
angkasa seperti hujan dan air salju, b) air tanah seperti air sumur, mata air
dan artesis, c) air permukaan yang meliputi sungai dan telaga. Untuk pemenuhan
kebutuhan manusia akan air, maka dari sumber air yang ada dapat dibangun
bermacam-macam saran penyediaan air bersih yang dapat berupa perpipaan, sumur
gali, sumur pompa tangan, perlindungan mata air, penampungan air hujan, dan
sumur artesis (Sanropie, 1984). Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih
harus diambil dari sumber yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber
air bersih harus jauh dari kandang ternak dan kakus paling sedikit sepuluh
meter dari sumber air. Air harus ditampung dalam wadah yang bersih dan
pengambilan air dalam wadah dengan menggunakan gayung yang bersih, dan untuk
minum air harus di masak. Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih
mempunyai resiko menderita diare lebih kecil bila dibandingkan dengan
masyarakat yang tidak mendapatkan air besih (Andrianto, 1995).
b) Tempat
pembuangan tinja
Pembuangan tinja
merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan. Pembuangan tinja yang
tidak tepat dapat berpengaruh langsung terhadap insiden penyakit tertentu yang
penularannya melalui tinja antara lain penyakit diare (Haryoto, 1983). Keluarga
yang tidak memiliki jamban harus membuat dan keluarga harus membuang air besar
di jamban. Jamban harus dijaga dengan
mencucinya secara teratur. Jika tak ada jamban, maka anggota keluarga harus
membuang air besar jauh dari rumah, jalan dan daerah anak bermain dan paling
kurang sepuluh meter dari sumber air bersih (Andrianto, 1995). Untuk mencegah
kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia harus
dikelola dengan baik. Suatu jamban memenuhi syarat kesehatan apabila memenuhi
syarat kesehatan: tidak mengotori permukaan tanah, tidak mengotori air
permukaan, tidak dapat di jangkau oleh serangga, tidak menimbulkan bau, mudah
digunakan dan dipelihara, dan murah (Notoatmodjo, 1996). Tempat pembuangan tinja
yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare
berdarah pada anak balita sebesar dua kali lipat dibandingkan keluarga yang
mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi (Wibowo,
2003). Menurut hasil penelitian Irianto (1996), bahwa anak balita berasal dari
keluarga yang menggunakan jamban (kakus) yang dilengkapi dengan tangki septik,
prevalensi diare 7,4% terjadi di kota dan 7,2% di desa. Sedangkan keluarga yang
menggunakan kakus tanpa tangki septik 12,1% diare terjadi di kota dan 8,9 % di
desa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluaga yang mempergunakan sungai
sebagi tempat pembuangan tinja, yaitu, 17,0% di kota dan 12,7% di desa.
c) Status
gizi
Status gizi
didefinisikan sebagai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan
makanan oleh tubuh (Parajanto, 1996). Penilaian status gizi dapat dilakukan
dengan menggunakan berbagai metode, yang tergantung dan tingkat kekurangan
gizi. Menurut Gibson (1990) metode penilaian tersebut adalah: konsumsi makanan,
pemeriksaan laboratorium, pengukuran antropometri dan pemeriksaan klinis.
Metode-metode ini dapat digunakan secara tunggal atau kombinasikan untuk
mendapatkan hasil yang lebih efektif. Makin buruk gizi seseorang anak, ternyata
makin banyak episode diare yang dialami. Mortalitas bayi dinegara yang jarang
terdapat malnutrisi protein energi (KEP) umumnya kecil (Canada, 28,4 permil).
Pada anak dengan malnutrisi, kelenjar timusnya akan mengecil dan kekebalan
sel-sel menjadi terbatas sekali sehingga kemampuan untuk mengadakan kekebalan
nonspesifik terhadap kelompok organisme berkurang (Suharyono, 1986).
d) Pemberian
air susu ibu (ASI)
ASI adalah makanan yang
paling baik untuk bayi komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang ideal
dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah
cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4 -6 bulan. Untuk menyusui dengan
aman dan nyaman ibu jangan memberikan cairan tambahan seperti air, air gula
atau susu formula terutama pada awal kehidupan anak. Memberikan ASI segera
setelah bayi lahir, serta berikan ASI sesuai kebutuhan. ASI mempunyai khasiat
preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang
dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare, pemberian ASI
kepada bayi yang baru lahir secara penuh mempunyai daya lindung empat kali lebih besar terhadap
diare dari pada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Pada bayi yang
tidak diberi ASI pada enam bulan pertama kehidupannya, risiko mendapatkan diare
adalah 30 kali lebih besar dibanding dengan bayi yang tidak diberi ASI (Depkes,
2000). Bayi yang memperoleh ASI mempunyai morbiditas dan mortalitas diare lebih
rendah. Bayi dengan air susu buatan (ASB) mempunyai risiko lebih tinggi
dibandingkan dengan bayi yang selain mendapat susu tambahan juga mendapatkan
ASI, dan keduanya mempunyai risiko diare lebih tinggi dibandingkan dengan bayi
yang sepenuhnya mendapatkan ASI. Risiko relatif ini tinggi dalam bulan-bulan
pertama kehidupan (Suryono, 1988).
e) Kebiasaan
mencuci tangan
Diare merupakan salah
satu penyakit yang penularannya berkaitan dengan penerapan perilaku hidup
sehat. Sebahagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur
oral. Kuman-kuman tersebut ditularkan dengan perantara air atau bahan yang
tercemar tinja yang mengandung mikroorganisme patogen dengan melalui air minum.
Pada penularan seperti ini, tangan memegang peranan penting, karena lewat
tangan yang tidak bersih makanan atau minuman tercemar kuman penyakit masuk ke
tubuh manusia. Pemutusan rantai penularan penyakit seperti ini sangat
berhubungan dengan penyediaan fasilitas yang dapat menghalangi pencemaran sumber
perantara oleh tinja serta menghalangi masuknya sumber perantara tersebut
kedalam tubuh melalui mulut. Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun adalah
perilaku amat penting bagi upaya mencegah diare. Kebiasaan mencuci tangan
diterapkan setelah buang air besar, setelah menangani tinja anak, sebelum makan
atau memberi makan anak dan sebelum menyiapkan makanan. Kejadian diare makanan
terutama yang berhubungan langsung dengan makanan anak seperti botol susu, cara
menyimpan makanan serta tempat keluarga membuang tinja anak (Howard &
Bartram, 2003). Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare
dikemukakan oleh Bozkurt et al (2003) di
Turki, orang tua yang tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum merawat
anak, anak mempunyai risiko lebih besar terkena diare. Heller (1998) juga mendapatkan adanya hubungan antara
kebiasaan cuci tangan ibu dengan kejadian diare pada anak di Betim-Brazil. Anak
kecil juga merupakan sumber penularan penting diare. Tinja anak, terutama yang
sedang menderita diare merupakan sumber penularan diare bagi penularan diare
bagi orang lain. Tidak hanya anak yang sakit, anak sehatpun tinjanya juga dapat
menjadi carrier asimptomatik yang sering kurang mendapat perhatian. Oleh karena
itu cara membuang tinja anak penting sebagai upaya mencegah terjadinya diare
(Sunoto dkk, 1990). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Aulia dkk., (1994) di
Sumatera Selatan, kebiasaan ibu membuang tinja anak di tempat terbuka merupakan
faktor risiko yang besar terhadap kejadian diare dibandingkan dengan kebiasaan
ibu membuang tinja anak di jamban.
f) Imunisasi
Diare sering timbul
menyertai penyakit campak, sehingga pemberian imunisasi campak dapat mencegah
terjadinya diare. Anak harus diimunisasi terhadap penyakit campak secepat
mungkin setelah usia sembilan bulan (Andrianto, 1995)
2) Sekunder
Pencegahan tingkat
kedua ini ditujukan kepada si anak yang telah menderita diare atau yang
terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan pengobatan
yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping dan
komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian
oralit (rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan oleh
banyak faktor seperti salah makan, bakteri, parasit, sampai radang. Pengobatan
yang diberikan harus disesuaikan dengan klinis pasien. Obat diare dibagi
menjadi tiga, pertama kemoterapeutika yang memberantas penyebab diare seperti
bakteri atau parasit, obstipansia untuk menghilangkan gejala diare dan
spasmolitik yang membantu menghilangkan kejang perut yang tidak menyenangkan.
Sebaiknya jangan mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter.
Dokter akan menentukan obat yang disesuaikan
dengan penyebab diarenya misal bakteri, parasit. Pemberian
kemoterapeutika memiliki efek samping dan sebaiknya diminum sesuai petunjuk
dokter (Fahrial Syam, 2006).
3) Tersier
Pencegahan tingkat ketiga
adalah penderita diare jangan sampai mengalami kecatatan dan kematian akibat
dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diare diusahakan pengembalian fungsi
fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha
rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyakit diare.
Usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan terus mengkonsumsi makanan bergizi dan
menjaga keseimbangan cairan. Rehabilitasi juga dilakukan terhadap mental
penderita dengan tetap memberikan kesempatan dan ikut memberikan dukungan
secara mental kepada anak. Anak yang menderita diare selain diperhatikan
kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis harus dipenuhi dan kebutuhan sosial
dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan dengan teman sepermainan.
Upaya penanggulangan
penyakit diare antara lain yaitu:
-
Bila diare berlangsung lama misalnya 1-2
hari dan bila kencing berkurang jumlah dan frekuensinya maka bawa segera
penderita ke RS karena ada kemungkinan ia terkena dehidrasi
-
Mengobati dehidrasi. Bila terjadi
dehidrasi (terutama pada anak) penderita harus segera dibawa ke petugas
kesehatan atau sarana kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang cepat dan
tepat yaitu dengan oralit, jika terjadi dehidrasi berat penderita harus
diberikan cairan intra vena (infus) dengan linger laktat sebelum dilanjutkan
terapi oral.
-
Hindari makanan padat.
-
Mengobati masalah lain. Apabila
ditemukan penderita diare yang disertai dengan penyakit lain maka diberikan
pengobatan sesuai dengan indikasi dengan tetap mengutamakan dehidrasi.
e.
Gambaran
Epidemiologi
1) Distribusi
dan Frekuensi
a) Menurut
Orang
Penyakit diare akut
lebih sering terjadi pada bayi daripada anak yang lebih besar. Kejadian diare
akut pada anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan. Hasil survei
Program Pemberantasan (P2) Diare di Indonesia menyebutkan bahwa angka kesakitan
diare di Indonesia pada tahun 2000 sebesar 301 per 1.000 penduduk dengan
episode diare balita adalah 1,0–1,5 kali per tahun. Survei Departemen Kesehatan
tahun 2003 penyakit diare menjadi penyebab kematian nomor dua pada balita,
nomor tiga pada bayi, dan nomor lima pada semua umur. Kejadian diare pada
golongan balita secara proporsional lebih banyak dibandingkan kejadian diare
pada seluruh golongan umur yakni sebesar 55%. Berdasarkan Survei Direktorat
Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen
PPM-PL) jumlah kasus diare pada tahun
2005 di Sulawesi Selatan berdasarkan umur yang paling tinggi terjadi pada usia
>5 tahun yaitu sebesar 100.347 kasus sedangkan kematian yang paling banyak
terjadi berada pada usia <1 tahun yakni sebanyak 25 kematian. Perbedaan
sifat keadaan karakteristik personal/individu secara tidak langsung dapat
memberikan perbedaan pada sifat/keadaan keterpaparan faktor resiko penyakit
diare maupun derajat resiko penyakit diare serta reaksi individu terhadap
setiap keadaan keterpaparan, sangat berbeda dan dipengaruhi oleh berbagai sifat
karakteristik tertentu. Sifat karateristik itu antara lain: umur, jenis
kelamin, kelas sosial, jenis pekerjaan, penghasilan, golongan etnik, status
perkawinan, besarnya keluarga, struktur keluarga, dan paritas. Hasil penelitian
Zulkifli (2003) dengan desain cross sectional
di Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie
menunjukkan bahwa diare terbanyak
pada anak balita dengan kelompok umur < 24 bulan.
b) Menurut
Tempat
Penyakit diare tidak
hanya terdapat di negara-negara berkembang atau terbelakang saja, akan tetapi
juga dijumpai di negara industri bahkan di negara yang sudah maju sekalipun,
hanya saja di negara maju keadaan penyakit diare infeksinya jauh lebih kecil.
Berdasarkan Ditjen PPM & PL tahun 2005 bahwa KLB diare yang paling tinggi
yang paling besar terjadi pada daerah NTT dengan jumlah penderita 2.194
orang dengan CFR sebesar 1,28% diikuti oleh Kota Banten dengan jumlah
penderita 1.371 orang dan CFR 1,9%. Hal ini disebabkan tingkat sanitasi
masyarakat yang masih rendah, dimana pada daerah NTT tersebut terjadi
kekurangan air, sehingga aktivitas mereka terbatasi dengan minimnya persediaan
air. Pada tahun 2004, di Indonesia diare merupakan penyakit dengan frekuensi
KLB kelima setelah DBD, Campak, Tetanus Neonatorum dan keracunan makanan. Angka
kesakitan diare di Kalimantan Tengah dari tahun 2000-2004 fluktuatif dari 15,87
sampai 23,45. Pada tahun 2005 kasus diare 37,53% terjadi pada balita. Berbagai penelitian tetang diare
telah dilakukan di berbagai tempat. Hasil penelitian Kasman di Puskesmas Air Dingin Kecamatan Koto Tangah
Kota Padang Sumatera Barat (2003) dengan desain cross sectional didapatkan proporsi diare pada anak balita sebesar
69,1%.
c) Menurut
Waktu
Masih seringnya terjadi
wabah atau Kejadian Luar Biasa (KLB) diare menyebabkan pemberantasannya menjadi
suatu hal yang sangat penting. Di Indonesia, KLB diare masih terus terjadi
hampir di setiap musim sepanjang tahun. Angka kesakitan diare tahun 2000
berdasarkan Survei Ditjen PPM-PL adalah 301 per 1.000 penduduk dan episode pada
balita 1,3 kali per tahun. Pada tahun 2003 angka kesakitan diare meningkat
menjadi 374 per 1.000 penduduk dan episode pada balita 1,08 kali per tahun.
Cakupan penderita diare yang dilayani dan dilaporkan selama lima tahun terakhir
cenderung menurun. Sementara itu jumlah
penderita diare yang dapat dihimpun dalam lima tahun terakhir ditemukan bahwa
jumlah penderita yang dilaporkan paling tinggi yakni pada tahun 2000 sebesar
4.771.340 penderita, sedangkan jumlah penderita yang dilaporkan paling rendah
yakni pada tahun 2004 sebesar 596.050 penderita.
2) Determinan
a) Host
(Penjamu)
-
Umur
Survei Departemen
Kesehatan tahun 2003 penyakit diare menjadi penyebab kematian nomor dua pada
balita, nomor tiga pada bayi, dan nomor lima pada semua umur. Hasil penelitian Zulkifli
(2003) dengan desain cross sectional di Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie menunjukkan
bahwa diare terbanyak pada anak balita dengan kelompok umur < 24
bulan.
-
Jenis Kelamin
Penyakit diare akut
lebih sering terjadi pada bayi daripada anak yang lebih besar. Kejadian diare akut
pada anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan. Penelitian Efrida Yanthi
(2001) di Kecamatan Padang Bolak Julu Kabupaten
Tapanuli Selatan dengan desain cross sectional menunjukkan hubungan yang tidak
bermakna antara jenis kelamin anak balita dengan kejadian diare dengan nilai p
=0,997.
-
Status Gizi
Penderita gizi buruk
akan mengalami penurunan produksi antibodi serta terjadinya atropi pada dinding
usus yang menyebabkan berkurangnya sekresi berbagai enzim sehingga memudahkan
masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh terutama penyakit diare. Hasil penelitian
Elmi Haryuni (2005) dengan desain case control di wilayah kerja
Puskesmas Bandar Khalifah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang menunjukkan
terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi balita dengan
kejadian diare deng an nilai p=0,000, OR=3,5. Hasil penelitian
Zulkifli (2003) dengan desain cross sectional di Kecamatan Mutiara Kabupaten Pidie menunjukkan
bahwa diare terbanyak pada anak balita dengan kelompok umur < 24 bulan.
-
Status imunisasi
Diare sering timbul
menyertai campak, sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah
diare. Untuk itu anak harus segera diberi imunisasi campak ketika
berumur 9 bulan sampai anak berusia 1 tahun. Hasil penelitian Efrida Yanthi
(tahun 2001) di Kecamatan Padang Bolak Julu Kabupaten Tapanuli Selatan, yang
melakukan analisis faktor resiko terhadap kejadian diare yang menggunakan
desain penelitian cross sectional menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara
status imunisasi dengan kejadian diare dengan nilai p=0,000 (p<0,05). Ini berarti balita yang
tidak imunisasi memiliki kemungkinan lebih besar untuk menderita diare.
-
ASI Eksklusif
Pemberian makanan
berupa ASI sampai bayi mencapai usia 4-6 bulan, akan memberikan kekebalan
kepada bayi terhadap berbagai macam penyakit karena ASI adalah cairan yang
mengandung zat kekebalan tubuh yang dapat melindungi bayi dari berbagai
penyakit infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit. Oleh karena itu, dengan
adanya zat anti infeksi dari ASI, maka bayi ASI eksklusif akan terlindungi dari
berbagai macam infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan
parasit. Hasil penelitian Dina Kamalia
(2005) tentang hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada bayi
usia 1-6 bulan di wilayah kerja Puskesmas Kedungwuni I yang menggunakan desain
cross sectional, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pemberian ASI
Eksklusif dengan kejadian diare dimana nilai p=0,003 (p<0,005)
b) Agent
Beberapa penyebab diare
dapat dibagi menjadi:
-
Peradangan usus oleh:
·
Bakteri, seperti: Escheria coli,
Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, B, C, Shigella flexneri, Vibrio
cholera, Vibrio eltor, Vibrio parahemolytius, Clostridium perferingens,
Campilobacter, Staphilococcus, Streptococcus, Coccidiosis.
·
Parasit, seperti: Protozoa (Entamoeba
histolyca, Giardia lambia, Trichomonashominis isospora), cacing (Ascaris lumbricoides,
Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Trichuris tricura, Vermiccularis,
Taenia saginata, Taenia solium), jamur (Candida).
·
Virus, seperti: Rotavirus, Farvovirus, Adenovirus, Norwalk.
-
Makanan, yaitu:
·
Sindroma malaborsi: malabsorpsi
karbohidrat, lemak dan protein.
·
Keracunan makanan dan minuman yang disebabkan
bakteri (Clostridium bottulinus, Staphilococcus) atau bahan kimia.
·
Alergi, misalnya tidak tahan pada
makanan tertentu seperti susu kaleng atau susu sapi.
·
Kekurangan energi protein (KEP).
-
Immunodefisiensi terutama SIg A
(secretory immunoglobulin A) yang mengakibatkan berlipat ganda nya
bakteri/flora usus dan jamur terutama Candida. Psikologis: rasa takut dan cemas. Walaupun jarang, dapat menimbulkan
diare terutama pada anak yang lebih besar.
c) Environment
(Lingkungan)
Penyakit diare
merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang
dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan
berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak
sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia
yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman maka dapat menimbulkan
kejadian penyakit diare.
-
Ketersediaan Jamban
Penelitian Dewi
Ratnawati dkk (tahun 2006) di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta dengan desain
penelitian case control, menunjukkan
bahwa penggunaan jamban yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan
risiko 2,550 kali lebih besar balitanya untuk terkena diare akut dibandingkan
dengan penggunaan jamban yang memenuhi syarat dan secara statistik bermakna.
-
Penyediaan Air Bersih
Penelitian Dewi
Ratnawati dkk (tahun 2006) di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta dengan desain
penelitian case control, menunjukkan bahwa penggunaan sarana air bersih yang
tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko 1,310 kali lebih besar
balitanya untuk terkena diare akut dibandingkan dengan penggunaan sarana air
bersih yang memenuhi syarat namun secara statistik tidak bermakna.
-
Sanitasi Lingkungan
Rendahnya mutu sanitasi
lingkungan merupakan keadaan yang potensial untuk menjadi sumber penularan
penyakit diare. Hasil penelitian Efrida Yanthi (tahun 2001) yang melakukan
analisis hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian diare yang menggunakan
desain penelitian cross sectional
menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara sanitasi lingkungan dengan
kejadian diare dengan nilai p=0,000(p<0,05).
terimakasih untuk informasinya, sebenarnya klo dibiarkan tanpa di obati, penyakit apapun bisa menjadi berbahaya,
BalasHapushttp://herbalkuacemaxs.com/pengobatan-herbal-diare/
terima kasih kembali :)
BalasHapusTerima kasih,sangat membantu
BalasHapus