PENYAKIT
MENULAR
(ETIOLOGI,
PENULARAN, DIAGNOSIS, PENCEGAHAN, PENANGGULANGAN, GAMBARAN EPIDEMIOLOGI)
PENYAKIT KUSTA
Penyakit kusta atau juga dikenali sebagai penyakit
Hansen juga Leprosy, merupakan penyakit berjangkit yang disebabkan oleh
jangkitan Mycobacterium leprae. Nama penyakit
Hansen datang daripada orang yang menjumpai Mycobacterium leprae, G.
A. Hansen. Pengidap penyakit Hansen biasanya dipanggil penderita kusta atau dalam bahasa Inggris lepers, walaupun
penggunaan istilah lepers semakin ditinggalkan karena jumlah penderita yang
berkurangan dan sebagai mengelak stigma buruk yang dikaitkan dengan penderita kusta.
a.
Etiologi
Penyakit ini sebenarnya disebabkan oleh bakteri pathogen Mycobacterium
leprae yang ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia bernama Gerhard
Armauer Hansen, pada tahun 1874 lalu. Mycobacterium leprae merupakan
salah satu kuman yang berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam
dan alkohol.
b.
Cara
Penularan
Cara penularan penyakit ini yaitu ketika dekat dengan penderita.
Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe
lepromatosa yang tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari
pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa
dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme masuk melalui saluran pernafasan
atas dan juga melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur
satu tahun, penularannya diduga melalui plasenta.
c.
Diagnosa
Diagnosa kusta dan klasifikasi harus
dilihat secara menyeluruh dari segi:
1)
Klinis
2)
Bakteriologis
3)
Immunologis
4)
Hispatologis
Pemeriksaan bakteriologis yaitu
dengan kerokan dengan pisau skalpel dari kulit, selaput lendir hidung bawah
atau dari biopsi kuping telinga, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan
diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen. Biopsi kulit atau saraf yang menebal
memberikan gambaran histologis yang khas. Diagnosis penyakit kusta dapat
dilakukan dengan penyuntikan antigen ke bagian bawah kulit untuk mengetahui
tipe penyakit kusta yang sedang diderita oleh seseorang. Tes ini disebut
Lepromin Skin Test. Penyuntikan antigen akan mengakibatkan terbentuknya
gumpalan kecil pada kulit.
d.
Upaya
Pencegahan dan Penanggulangan
1)
Primer
Pencegahan primer adalah
pencegahan tingkat pertama, tujuannya adalah untuk mengurangi insidensi
penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor
resikonya, pencegahan ini terdiri dari:
a)
Promosi kesehatan
Yaitu dengan cara
penyuluhan-penyuluhan tentang penularan, pengobatan dan pencegahan penyakit
kusta, serta pentingnya makanan sehat dan bergizi untuk meningkatkan status
gizi tiap individu menjadi baik. Menurut Depkes RI (2005) diacu dalam
Hutabarat (2008) pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang
belum terkena penyakit kusta dan memiliki risiko tertular karena berada di
sekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga
penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang
diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan
pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit
sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari
penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita,
tetangga penderita dan masyarakat).
b)
Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan
upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi
(Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa
pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta
sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan
terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan
program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda
pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2005 dalam Hutabarat, 2008).
2)
Sekunder
Pencegahan ini meliputi
diagnosis dini dan pemberian pengobatan (prompt treatment).
a)
Diagnosis dini yaitu diagnosis dini pada
kusta dapat dilakukan dengan pemeriksaan kulit, dan pemeriksaan syaraf tepi dan
fungsinya.
b)
Pengobatan yang diberikan pada penderita
kusta adalah DDS (diaminodifenilsulfon), klofazimin, rifampisin, prednisone,
sulfatferrosus dan vitamin A. Pengobatan
lain adalah dengan Multi drug treatment
(MDT) yaitu gabungan pemberian obat refampicin, ofloxacin dan minocyclin sesuai
dengan dosis dan tipe penyakit kusta.
Pengobatan kusta ini dilakukan secara teratur dan terus menerus selama
6-9 bulan.
Menurut Depkes RI
(2006) diacu dalam Hutabarat (2008) pencegahan sekunder dilakukan dengan
pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah
bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug
therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena
tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain.
3)
Tersier
Pencegahan tersier dimaksudkan untuk
mengurangi kemajuan atau komplikasi penyakit yang sudah terjadi, dan adalah
merupakan sebuah aspek terapatik dan kedokteran rehabilitasi yang paling
penting. Pencegahan tersier merupakan usaha
pencegahan terakhir yang terdiri dari:
a)
Rehabilitasi Medik
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan yang baik dan
benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu,
mulai dari pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah
rekonstruksi dan bedah septik, pemberian alas kaki, protese atau alat bantu
lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi
sosial (rehabilitasi nonmedis), agar
mantan pasien kusta dapat siap kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun
negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu pengelolaan pasien
kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial merupakan satu kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai rehabilitasi
paripurna. Menghadapi
kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat program rehabilitasi medik yang terencana dan terorganisasi. Dokter, terapis dan pasien harus bekerjasama
untuk mendapat hasil yang maksimal. Pengetahuan medis dasar yang perlu dikuasai
adalah anatomi anggota gerak, prinsip dasar penyembuhan luka, pemilihan dan
saat yang tepat untuk pemakaian modalitas terapi dan latihan. Diagnosis dan
terapi secara dini, disusul dengan perawatan yang cermat, akan mencegah
pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan terhadap reaksi kusta mempunyai 4
tujuan, yaitu:
- Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar
pula dari gangguan sensorik, paralisis,dan
kontraktur.
- Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.
- Kontrol
nyeri.
- Pengobatan
untuk mematikan basil lepra dan mencegah perburukan keadaan penyakit.
b) Rehabilitasi Nonmedik
Meskipun
penyakit kusta tidak banyak menyebabkan kematian, namun penyakit ini termasuk
penyakit yang paling ditakuti diseluruh dunia. Penyakit ini sering kali menyebabkan permasalahan yang sangat kompleks bagi
penderita kusta itu sendiri, keluarga, dan masyarakat. Pada penyakit kusta ini dikenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial dan
cacat fisik. Seringkali penyakit kusta di identikkan dengan cacat fisik yang
menimbulkan rasa jijik atau ngeri serta rasa
takut yang berlebihan terhadap mereka yang melihatnya. Akibat hal-hal tersebut di
atas, meskipun penderita kusta telah diobati dan dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi bila fisiknya cacat, maka predikat kusta akan tetap melekat untuk seluruh sisa hidup penderita,
sehingga ia dan
keluarganya akan dijauhi oleh masyarakat di sekitarnya.
Bayangan cacat
kusta menyebabkan penderita sering kali tidak dapat menerima keputusan bahwa ia menderita kusta.
Akibatnya akan ada perubahan mendasar pada kepribadian dan tingkah laku
penderita. Ia akan selalu sedapat mungkin menyembunyikan keadaannya sebagai
seorang penderita kusta. Hal ini tidak menunjang proses pengobatan dan kesembuhan, sebaliknya akan memperbesar resiko timbulnya cacat bagi
penderita itu sendiri. Tentu saja semua tersangka kasus kusta harus diperiksa
secara cermat dan hati-hati sekali untuk menghindari salah diagnosis, karena
setiap kesalahan dalam penegakkan diagnosis akan dapat menimbulkan beban psikis dan dampak social
yang tidak hanya dapat dialami oleh penderita itu sendiri, tetapi juga terhadap
keluargannya.
Masalah
psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih menonjol dibandingkan dengan
masalah medisnya sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena adanya stigma leprofobi
yang banyak dipengaruhi oleh berbagai paham keagamaan, serta informasi yang
keliru tentang penyakit kusta. Sikap dan perilaku masyarakat yang negative
terhadap penderita kusta seringkali menyebabkan penderita kusta tidak
mendapatkan tempat di dalam keluarganya dan masyarakat lingkungannya. Setelah diagnosis ditegakkan, maka upaya rehabilitasi harus segera dimulai
sedini mungkin, sebaiknya sebelum pengobatan kusta itu dimulai dan dilakukan secara terus menerus secara
paripurna sampai ia dapat mencapai
kemandirian dan hidup bermasyarakat seperti sediakala. Dengan kata lain tujuan akhir rehabilitasi adalah resosialisasi penderita itu sendiri. Pengobatan penyakit kusta sangat penting untuk memutuskan mata rantai
penularan dan mencegah terjadinya cacat fisik. Bila pengobatan tersebut tidak
diimbangi oleh rehabilitasi mental, maka akan sulit dicapai partisipasi aktif
dari penderita agar berobat teratur dan menyelesaikan secara tuntas program
pengobatan yang telah dianjurkan. Pengobatan penyakit kusta tidak boleh diberikan bila seseorang belum dapat
dipastikan menderita penyakit kusta atau penyakitnya masih diragukan.
Komplikasi antara lain seperti penyakit kusta, harus ditangani sedini mungkin dan secara adekuat untuk mencegah terjadinya cacat kusta. Andaikata cacat
kusta telah terjadi, maka upaya rehabilitasi untuk mencegah berlanjutnya cacat
harus segera dilakukan. Bila tanda-tanda cacat kusta sudah
sedemikian jelas, tetapi hasil pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis
menyatakan bahwa penyakit kusta dalam keadaan inaktif, maka pengobatan tidak
diperlukan lagi dan hanya dilakukan upaya-upaya rehabilitasi. Pada penderita
harus ditekankan bahwa obat-obat kusta tidak dapat menyembuhkan cacat fisik
yang telah ada, supaya ia tidak mencari pengobatan di luar ketentuan yang telah
digariskan oleh Departemen Kesehatan. Pengobatan hanya diberikan pada penderita
kusta aktif, dengan atau tanpa cacat kusta.
c)
Rehabilitasi Mental
Penyuluhan kesehatan berupa
bimbingan mental, harus diupayakan sedini mungkin pada setiap penderita,
keluarganya, dan masyarakat sekitarnya, untuk memberikan dorongan dan semangat
agar mereka dapat menerima
kenyataan ini. Selain itu juga agar penderita dapat segera mulai menjalani
pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis.
Informasi yang perlu disampaikan antara lain sebagai berikut:
- Hal-hal yang
berkaitan dengan stigma dan leprofobi
- Masalah psikososial kusta
- Komplikasi, misalnya neuritis dan reaksi
yang sering sekali timbul selama proses pengobatan dan setelah pengobatan
selesai.
- Proses terjadinya cacat kusta dan
berlanjutnya cacat tersebut.
- Peran serta masyarakat pada penanggulangan penyakit kusta.
- Masalah rujukan dan rumah sakit rujukan.
- Dan lain-lain yang dianggap perlu, misalnya rehabilitasi, berbagai upaya kesehatan
terhadap penyakit kusta.
d)
Rehabilitasi Karya
Upaya
rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita yang sudah terlanjur cacat
dapat kembali melakukan pekerjaan yang sama, atau dapat melatih diri terhadap
pekerjaan baru sesuai dengan tingkat cacat, pendidikan dan pengalaman bekerja
sebelumnya. Disamping itu penempatan di tempat kerja yang aman dan tepat akan
mengurangi risiko berlanjutnya cacat pada penderita kusta.
e)
Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi sosial bertujuan
memulihkan fungsi sosial ekonomi penderita. Hal ini sangat sulit dicapai oleh
penderita sendiri tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya.
Rehabilitasi sosial bukanlah bantuan sosial yang harus diberikan secara terus
menerus, melainkan upaya yang bertujuan untuk menunjang kemandirian penderita.
Upaya ini dapat berupa:
- Memberikan bimbingan sosial.
- Memberikan peralatan kerja.
- Memberikan alat
bantu cacat, misalnya kursi roda atau tongkat jalan.
- Memberikan
bantuan penempatan kerja yang lebih sesuai dengan keadaan cacatnya.
- Membantu membeli/memakai hasil-hasil usaha
mereka
- Membantu pemasaran hasil-hasil usaha mereka.
- Memberikan
bantuan kebutuhan pokok, misalnya pangan, sandang, papan, jaminan kesehatan,
dan sebagainya.
- Memberikan permodalan
bagi usaha wiraswasta.
- Memberikan bantuan
pemulangan ke daerah asal.
- Memberikan bimbingan mental/spiritual.
- Memberikan pelatihan keterampilan/magang
kerja dan sebagainya.
Menurut Depkes RI (2006) diacu dalam
Hutabarat (2008) pencegahan tersier penyakit kusta meliputi sebagai berikut:
-
Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk
pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas:
·
Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini
penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penanganan reaksi untuk
mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.
·
Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan
diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan atau kaki yang
sudah mengalami gangguan fungsi saraf.
-
Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses
pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha
untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan
untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya.
Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan
sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat
yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006)
Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi:
·
Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami
kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur
·
Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami
kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan
·
Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi
·
Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan
bila gerakan normal terbatas pada tangan
·
Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada
penderita cacat
Upaya penanggulangan yaitu dapat
dilakukan dengan memutus persebaran penyakit kusta yaitu meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta dan memberikan penyuluhan agar
mereka tidak mengucilkan penderita penyakit kusta yang malah akan memperparah
penyebaran, mereka diberikan penyuluhan agar bisa mendeteksi terjangkitnya
penyakit ini agar dapat ditangani sedini mungkin, meningkatkan kesadaran akan
kebersihan lingkungan, meningkatkan daya tahan tubuh atau imunitas agar tidak
mudah tertular bakteri penyakit. Selain itu, pemerintah masih terus
mengupayakan agar jumlah masyarakat yang tertular tidak bertambah dengan
berbagai program kesehatan.
e.
Gambaran
Epidemiologi
1) Distribusi
Frekuensi
a) Menurut orang
Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan
daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak- di bawah umur 14 tahun
± 13%, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi
pada kelompok dewasa ialah umur 25–35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur
10–12 tahun. Insiden rate penyakit ini meningkat sesuai umur dengan puncak pada
umur 10-20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai
dengan umur dengan puncak antara umur 30-50 tahun dan kemudian secara
perlahan-lahan menurun. Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak
dari pada wanita kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak daripada
laki-laki. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta
faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit
kusta.
b) Menurut waktu dan tempat
Penyebaran penyakit
kusta tidak terlihat dalam waktu singkat karena masa inkubasi bakteri penyebab
penyakit ini dalam waktu 3 samapi 10 tahun. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit kusta kebanyakan
terdapat di daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab. Kelompok
yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah
endemik dengan kondisi yang buruk. Tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang
di mana saja. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang
berbeda-beda. Diantara 122 negara yang
endemis pada tahun 1985 dengan prevalensi >1/10.000 penduduk, hanya tinggal 6 negara yang masih
belum mencapai eliminasi di tahun 2005 yaitu: India, Brazil, Indonesia,
Bangladesh, Congo, dan Nepal Antara tahun 1985 hingga 2005 lebih dari 15 juta
penderita telah sembuh. Dan 222.367 kasus masih dalam pengobatan pada awal
tahun 2006. Dari 10 negara dengan jumlah kasus baru terbesar di dunia,
Indonesia menempati posisi ke-3 setelah India dan Brazil. Berdasarkan data
kusta awal 2005 Indonesia menempati posisi ke-2 dengan angka prevalensi 0,9 per
10.000 penduduk. Di Indonesia, kasus
terbanyak terdapat di Jawa Timur dengan prevalensi rate 1,76 per 10.000
penduduk, dan paling sedikit terdapat di daerah Bengkulu dengan prevalensi rate
0,17 per 10.000 jumlah penduduk.
2) Determinan
Penyakit
kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu di takuti. Adapun beberapa
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kusta dipengaruhi oleh host, agent,
dan environment antara lain:
a) Faktor Daya Tahan Tubuh (host).
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak
menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, dan 2 orang menjadi sakit.
Hal ini belum memperhitungkan pengaruh pengobatan.
b) Faktor Kuman (agent). Kuman dapat
hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu atau cuaca,dan
hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.
c) Faktor Sumber Penularan
(environment). Faktor lingkungan
pada populasi dengan kusta merupakan faktor resiko. Kusta sebagain besar diderita di daerah pemukiman kumuh,
pemenuhan personal hygiene yang kurang, dan keadaan sosial ekonomi yang rendah.
Pemeliharaan lingkungan rumah dan tempat tinggal penderita yang kontak langsung
secara terus menerus dapat dilakukan untuk mengurangi kemunduran keadaan kusta.
thank mbak infrmasinya..
BalasHapusmkasih sudah berbagi dan sharing..
mungkin situs ini juga bisa menjadi referensi anda.
http://www.tanyadok.com/kesehatan/kusta-apakah-bisa-disembuhkan
thanks atas infonya, ditunggu artikel yang lainnya
BalasHapushttp://obatnyapenyakit.com/obat-alami-penyakit-kusta/