Jumat, 27 Desember 2013

Penyakit Kusta



PENYAKIT MENULAR
(ETIOLOGI, PENULARAN, DIAGNOSIS, PENCEGAHAN, PENANGGULANGAN, GAMBARAN EPIDEMIOLOGI)



PENYAKIT KUSTA
Penyakit kusta atau juga dikenali sebagai penyakit Hansen juga Leprosy, merupakan penyakit berjangkit yang disebabkan oleh jangkitan Mycobacterium leprae. Nama penyakit Hansen datang daripada orang yang menjumpai Mycobacterium leprae, G. A. Hansen. Pengidap penyakit Hansen biasanya dipanggil penderita kusta atau dalam bahasa Inggris lepers, walaupun penggunaan istilah lepers semakin ditinggalkan karena jumlah penderita yang berkurangan dan sebagai mengelak stigma buruk yang dikaitkan dengan penderita kusta.
a.         Etiologi
Penyakit ini sebenarnya disebabkan oleh bakteri pathogen Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia bernama Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1874 lalu. Mycobacterium leprae merupakan salah satu kuman yang berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol.
b.        Cara Penularan
Cara penularan penyakit ini yaitu ketika dekat dengan penderita. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga melalui plasenta.
c.         Diagnosa
Diagnosa kusta dan klasifikasi harus dilihat secara menyeluruh dari segi:
1)        Klinis
2)        Bakteriologis
3)        Immunologis
4)        Hispatologis
Pemeriksaan bakteriologis yaitu dengan kerokan dengan pisau skalpel dari kulit, selaput lendir hidung bawah atau dari biopsi kuping telinga, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen. Biopsi kulit atau saraf yang menebal memberikan gambaran histologis yang khas. Diagnosis penyakit kusta dapat dilakukan dengan penyuntikan antigen ke bagian bawah kulit untuk mengetahui tipe penyakit kusta yang sedang diderita oleh seseorang. Tes ini disebut Lepromin Skin Test. Penyuntikan antigen akan mengakibatkan terbentuknya gumpalan kecil pada kulit.
d.        Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
1)        Primer
Pencegahan primer adalah pencegahan tingkat pertama, tujuannya adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor resikonya, pencegahan ini terdiri dari:
a)        Promosi kesehatan
Yaitu dengan cara penyuluhan-penyuluhan tentang penularan, pengobatan dan pencegahan penyakit kusta, serta pentingnya makanan sehat dan bergizi untuk meningkatkan status gizi tiap individu menjadi baik. Menurut Depkes RI (2005) diacu dalam Hutabarat (2008) pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki risiko tertular karena berada di sekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat).
b)        Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2005 dalam Hutabarat, 2008).
2)        Sekunder
Pencegahan ini meliputi diagnosis dini dan pemberian pengobatan (prompt treatment).
a)        Diagnosis dini yaitu diagnosis dini pada kusta dapat dilakukan dengan pemeriksaan kulit, dan pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya.
b)        Pengobatan yang diberikan pada penderita kusta adalah DDS (diaminodifenilsulfon), klofazimin, rifampisin, prednisone, sulfatferrosus dan vitamin A.  Pengobatan lain adalah dengan Multi drug treatment (MDT) yaitu gabungan pemberian obat refampicin, ofloxacin dan minocyclin sesuai dengan dosis dan tipe penyakit kusta.  Pengobatan kusta ini dilakukan secara teratur dan terus menerus selama 6-9 bulan.
Menurut Depkes RI (2006) diacu dalam Hutabarat (2008) pencegahan sekunder dilakukan dengan pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain.
3)        Tersier
Pencegahan tersier dimaksudkan untuk mengurangi kemajuan atau komplikasi penyakit yang sudah terjadi, dan adalah merupakan sebuah aspek terapatik dan kedokteran rehabilitasi yang paling penting. Pencegahan tersier merupakan usaha pencegahan terakhir yang terdiri dari:
a)        Rehabilitasi Medik
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu, mulai dari pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah rekonstruksi dan bedah septik, pemberian alas kaki, protese atau alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial (rehabilitasi nonmedis), agar mantan pasien kusta dapat siap kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan satu kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai rehabilitasi paripurna. Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat program rehabilitasi medik yang terencana dan terorganisasi. Dokter, terapis dan pasien harus bekerjasama untuk mendapat hasil yang maksimal. Pengetahuan medis dasar yang perlu dikuasai adalah anatomi anggota gerak, prinsip dasar penyembuhan luka, pemilihan dan saat yang tepat untuk pemakaian modalitas terapi dan latihan. Diagnosis dan terapi secara dini, disusul dengan perawatan yang cermat, akan mencegah pengembangan terjadinya kecacatan. Perawatan terhadap reaksi kusta mempunyai 4 tujuan, yaitu:
-    Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguan sensorik, paralisis,dan kontraktur.
-    Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.
-    Kontrol nyeri.
-    Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah perburukan keadaan penyakit.
b)    Rehabilitasi Nonmedik
Meskipun penyakit kusta tidak banyak menyebabkan kematian, namun penyakit ini termasuk penyakit yang paling ditakuti diseluruh dunia. Penyakit ini sering kali menyebabkan permasalahan yang sangat kompleks bagi penderita kusta itu sendiri, keluarga, dan masyarakat. Pada penyakit kusta ini dikenal 2 jenis cacat yaitu cacat psikososial dan cacat fisik. Seringkali penyakit kusta di identikkan dengan cacat fisik yang menimbulkan rasa jijik atau ngeri serta rasa takut yang berlebihan terhadap mereka yang melihatnya. Akibat hal-hal tersebut di atas, meskipun penderita kusta telah diobati dan dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi bila fisiknya cacat, maka predikat kusta akan tetap melekat untuk seluruh sisa hidup penderita, sehingga ia dan keluarganya akan dijauhi oleh masyarakat di sekitarnya.
Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita sering kali tidak dapat menerima keputusan bahwa ia menderita kusta. Akibatnya akan ada perubahan mendasar pada kepribadian dan tingkah laku penderita. Ia akan selalu sedapat mungkin menyembunyikan keadaannya sebagai seorang penderita kusta. Hal ini tidak menunjang proses pengobatan dan kesembuhan, sebaliknya akan memperbesar resiko timbulnya cacat bagi penderita itu sendiri. Tentu saja semua tersangka kasus kusta harus diperiksa secara cermat dan hati-hati sekali untuk menghindari salah diagnosis, karena setiap kesalahan dalam penegakkan diagnosis akan dapat menimbulkan beban psikis dan dampak social yang tidak hanya dapat dialami oleh penderita itu sendiri, tetapi juga terhadap keluargannya.
Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih menonjol dibandingkan dengan masalah medisnya sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena adanya stigma leprofobi yang banyak dipengaruhi oleh berbagai paham keagamaan, serta informasi yang keliru tentang penyakit kusta. Sikap dan perilaku masyarakat yang negative terhadap penderita kusta seringkali menyebabkan penderita kusta tidak mendapatkan tempat di dalam keluarganya dan masyarakat lingkungannya. Setelah diagnosis ditegakkan, maka upaya rehabilitasi harus segera dimulai sedini mungkin, sebaiknya sebelum pengobatan kusta itu dimulai dan dilakukan secara terus menerus secara paripurna sampai ia dapat mencapai  kemandirian dan hidup bermasyarakat seperti sediakala. Dengan kata lain tujuan akhir rehabilitasi adalah resosialisasi penderita itu sendiri. Pengobatan penyakit kusta sangat penting untuk memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya cacat fisik. Bila pengobatan tersebut tidak diimbangi oleh rehabilitasi mental, maka akan sulit dicapai partisipasi aktif dari penderita agar berobat teratur dan menyelesaikan secara tuntas program pengobatan yang telah dianjurkan. Pengobatan penyakit kusta tidak boleh diberikan bila seseorang belum dapat dipastikan menderita penyakit kusta atau penyakitnya masih diragukan. Komplikasi antara lain seperti penyakit kusta, harus ditangani sedini mungkin dan secara adekuat untuk mencegah terjadinya cacat kusta. Andaikata cacat kusta telah terjadi, maka upaya rehabilitasi untuk mencegah berlanjutnya cacat harus segera dilakukan. Bila tanda-tanda cacat kusta sudah sedemikian jelas, tetapi hasil pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis menyatakan bahwa penyakit kusta dalam keadaan inaktif, maka pengobatan tidak diperlukan lagi dan hanya dilakukan upaya-upaya rehabilitasi. Pada penderita harus ditekankan bahwa obat-obat kusta tidak dapat menyembuhkan cacat fisik yang telah ada, supaya ia tidak mencari pengobatan di luar ketentuan yang telah digariskan oleh Departemen Kesehatan. Pengobatan hanya diberikan pada penderita kusta aktif, dengan atau tanpa cacat kusta.
c)        Rehabilitasi Mental
Penyuluhan kesehatan berupa bimbingan mental, harus diupayakan sedini mungkin pada setiap penderita, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya, untuk memberikan dorongan dan semangat agar mereka dapat menerima kenyataan ini. Selain itu juga agar penderita dapat segera mulai menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis. Informasi yang perlu disampaikan antara lain sebagai berikut:
-    Hal-hal yang berkaitan dengan stigma dan leprofobi
-    Masalah psikososial kusta
-    Komplikasi, misalnya neuritis dan reaksi yang sering sekali timbul selama proses pengobatan dan setelah pengobatan selesai.
-    Proses terjadinya cacat kusta dan berlanjutnya cacat tersebut.
-    Peran serta masyarakat pada penanggulangan penyakit kusta.
-    Masalah rujukan dan rumah sakit rujukan.
-    Dan lain-lain yang dianggap perlu, misalnya rehabilitasi, berbagai upaya kesehatan terhadap penyakit kusta.
d)       Rehabilitasi Karya
Upaya rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita yang sudah terlanjur cacat dapat kembali melakukan pekerjaan yang sama, atau dapat melatih diri terhadap pekerjaan baru sesuai dengan tingkat cacat, pendidikan dan pengalaman bekerja sebelumnya. Disamping itu penempatan di tempat kerja yang aman dan tepat akan mengurangi risiko berlanjutnya cacat pada penderita kusta.
e)        Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi sosial ekonomi penderita. Hal ini sangat sulit dicapai oleh penderita sendiri tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya. Rehabilitasi sosial bukanlah bantuan sosial yang harus diberikan secara terus menerus, melainkan upaya yang bertujuan untuk menunjang kemandirian penderita. Upaya ini dapat berupa:
-    Memberikan bimbingan sosial.
-    Memberikan peralatan kerja.
-    Memberikan alat bantu cacat, misalnya kursi roda atau tongkat jalan.
-    Memberikan bantuan penempatan kerja yang lebih sesuai dengan keadaan cacatnya.
-    Membantu membeli/memakai hasil-hasil usaha mereka
-    Membantu pemasaran hasil-hasil usaha mereka.
-    Memberikan bantuan kebutuhan pokok, misalnya pangan, sandang, papan, jaminan kesehatan, dan sebagainya.
-    Memberikan permodalan bagi usaha wiraswasta.
-    Memberikan bantuan pemulangan ke daerah asal.
-    Memberikan bimbingan mental/spiritual.
-    Memberikan pelatihan keterampilan/magang kerja dan sebagainya.
Menurut Depkes RI (2006) diacu dalam Hutabarat (2008) pencegahan tersier penyakit kusta meliputi sebagai berikut:
-       Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas:
·           Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penanganan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.
·           Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf.
-       Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006) Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi:
·           Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur
·           Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan
·           Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi
·           Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada tangan
·           Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat
Upaya penanggulangan yaitu dapat dilakukan dengan memutus persebaran penyakit kusta yaitu meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta dan memberikan penyuluhan agar mereka tidak mengucilkan penderita penyakit kusta yang malah akan memperparah penyebaran, mereka diberikan penyuluhan agar bisa mendeteksi terjangkitnya penyakit ini agar dapat ditangani sedini mungkin, meningkatkan kesadaran akan kebersihan lingkungan, meningkatkan daya tahan tubuh atau imunitas agar tidak mudah tertular bakteri penyakit. Selain itu, pemerintah masih terus mengupayakan agar jumlah masyarakat yang tertular tidak bertambah dengan berbagai program kesehatan.
e.         Gambaran Epidemiologi
1)      Distribusi Frekuensi
a)      Menurut orang
Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak- di bawah umur 14 tahun ± 13%, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25–35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10–12 tahun. Insiden rate penyakit ini meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncak antara umur 30-50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun. Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak daripada laki-laki. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.
b)      Menurut waktu dan tempat
Penyebaran penyakit kusta tidak terlihat dalam waktu singkat karena masa inkubasi bakteri penyebab penyakit ini dalam waktu 3 samapi 10 tahun. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit kusta kebanyakan terdapat di daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab. Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk. Tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda.  Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985 dengan prevalensi >1/10.000  penduduk, hanya tinggal 6 negara yang masih belum mencapai eliminasi di tahun 2005 yaitu: India, Brazil, Indonesia, Bangladesh, Congo, dan Nepal Antara tahun 1985 hingga 2005 lebih dari 15 juta penderita telah sembuh. Dan 222.367 kasus masih dalam pengobatan pada awal tahun 2006. Dari 10 negara dengan jumlah kasus baru terbesar di dunia, Indonesia menempati posisi ke-3 setelah India dan Brazil. Berdasarkan data kusta awal 2005 Indonesia menempati posisi ke-2 dengan angka prevalensi 0,9 per 10.000 penduduk.  Di Indonesia, kasus terbanyak terdapat di Jawa Timur dengan prevalensi rate 1,76 per 10.000 penduduk, dan paling sedikit terdapat di daerah Bengkulu dengan prevalensi rate 0,17 per 10.000 jumlah penduduk.
2)      Determinan
Penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu di takuti. Adapun beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kusta dipengaruhi oleh host, agent, dan environment antara lain:
a)      Faktor Daya Tahan Tubuh (host). Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, dan 2 orang menjadi sakit. Hal ini belum memperhitungkan pengaruh pengobatan.
b)      Faktor Kuman (agent). Kuman dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu atau cuaca,dan hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.
c)      Faktor Sumber Penularan (environment). Faktor lingkungan pada populasi dengan kusta merupakan faktor resiko. Kusta sebagain besar diderita di daerah pemukiman kumuh, pemenuhan personal hygiene yang kurang, dan keadaan sosial ekonomi yang rendah. Pemeliharaan lingkungan rumah dan tempat tinggal penderita yang kontak langsung secara terus menerus dapat dilakukan untuk mengurangi kemunduran keadaan kusta.

2 komentar:

  1. thank mbak infrmasinya..
    mkasih sudah berbagi dan sharing..
    mungkin situs ini juga bisa menjadi referensi anda.
    http://www.tanyadok.com/kesehatan/kusta-apakah-bisa-disembuhkan

    BalasHapus
  2. thanks atas infonya, ditunggu artikel yang lainnya

    http://obatnyapenyakit.com/obat-alami-penyakit-kusta/

    BalasHapus